‎Seni Bertanya dalam Debat: Cara Elegan Membongkar Argumen Tanpa Ribut

 


Pernahkah Anda terjebak dalam debat? Anda tahu betul lawan bicara salah, tapi entah bagaimana sulit sekali membuktikannya. Saat Anda menyodorkan data, mereka malah menyangkal. Saat Anda mengutip fakta, mereka bilang itu bias. Alhasil, percakapan yang seharusnya produktif berubah jadi debat kusir yang bikin lelah.

‎Ternyata, ada cara lain yang jauh lebih elegan: bertanya dengan cerdas.
‎Ya, alih-alih memaksa orang menerima fakta, Anda bisa mengajukan pertanyaan yang membuat mereka sendiri mempertanyakan logikanya. Teknik ini sering disebut Socratic questioning—sebuah seni yang sudah dipakai ribuan tahun lalu oleh filsuf Yunani, Socrates, untuk membongkar pemikiran orang lain.

‎Menariknya, metode ini tidak hanya ampuh untuk memenangkan debat. Ia juga bisa membuat percakapan lebih sehat, mendorong orang berpikir kritis, dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih jernih—tanpa harus meninggikan suara atau kehilangan kendali.

‎Mari kita bahas bagaimana caranya.

‎Kenapa Fakta Sering Gagal?

‎Sebelum masuk ke teknik, kita perlu paham dulu: kenapa fakta sering tidak mempan?
‎Jawabannya sederhana: manusia punya ego dan bias.

‎Bayangkan Anda sedang ngobrol dengan teman soal diet. Anda bilang, “Makan malam lewat jam 8 itu nggak bikin gemuk, yang penting total kalori harian.” Lalu Anda kasih artikel ilmiah sebagai bukti. Apa responsnya?
‎Kemungkinan besar: “Ah, teori doang. Nyatanya banyak orang gemuk karena makan malam.”

‎Masalahnya, ketika fakta menyerang keyakinan yang sudah mereka yakini lama, otak mereka otomatis memasang “tameng pertahanan”. Ini disebut confirmation bias—kita cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita, meskipun benar.

‎Di sinilah seni bertanya jadi jalan keluar. Alih-alih melawan tameng itu dengan palu fakta, kita justru membiarkan lawan bicara membuka tamengnya sendiri, pelan-pelan.

‎Pertanyaan yang Menggiring, Bukan Menyerang

‎Kunci dari metode ini: pertanyaan bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membimbing.
‎Bayangkan Anda sedang jalan bareng teman di lorong gelap. Alih-alih berteriak “Jangan ke sana, itu jalan buntu!”, lebih efektif kalau Anda bertanya, “Kalau ke arah situ, kira-kira ujungnya ke mana ya? Pernah ada yang lewat sana?”

‎Dengan begitu, mereka merasa ikut menemukan jawabannya sendiri.

‎Sekarang mari kita bedah satu per satu teknik bertanya yang bisa Anda gunakan.

‎1. Pertanyaan Socratic: Kupas Asumsi Dasar


‎Teknik klasik ini sederhana tapi tajam. Alih-alih langsung menyerang kesimpulan lawan, gali dulu asumsi yang mendasarinya.

‎Misalnya, lawan bicara bilang:
‎“Semua anak muda sekarang malas bekerja.”

‎Daripada Anda langsung bantah, cobalah bertanya:

‎“Bisa jelaskan lebih lanjut, kenapa Anda sampai pada kesimpulan itu?”

‎“Menurut Anda, apa yang membuat mereka dianggap malas?”


‎Pelan-pelan, orang tersebut akan menyadari bahwa pendapatnya berdiri di atas asumsi yang lemah: mungkin hanya berdasarkan beberapa contoh, bukan fakta umum.

‎Teknik ini seperti mengupas bawang—lapis demi lapis—sampai terlihat inti yang sebenarnya rapuh.

‎2. Pertanyaan Hipotesis: Uji Konsistensi


‎Sebuah argumen yang kokoh harus konsisten di berbagai situasi. Kalau tidak, berarti ada celah.

‎Contoh:
‎Teman Anda berkata, “Kalau orang miskin tetap miskin, itu salah mereka sendiri karena malas bekerja.”

‎Anda bisa bertanya:

‎“Kalau ada orang sakit parah sampai tidak bisa bekerja, apakah itu juga salah mereka?”

‎“Kalau anak lahir di keluarga miskin dan tidak dapat akses sekolah, apakah dia tetap salah?”


‎Dengan membayangkan skenario lain, mereka dipaksa menguji ulang konsistensi argumennya. Kalau logika itu runtuh di contoh lain, maka lemah pula di kasus awal.

‎3. Klarifikasi Definisi: Jangan Terjebak Kata-Kata Kabur


‎Banyak argumen berdiri di atas istilah yang kabur: “selalu”, “tidak pernah”, “kebebasan”, “keadilan”.

‎Contoh debat:
‎Lawan bicara: “Pemerintah tidak pernah adil.”
‎Anda: “Menarik. Bisa dijelaskan, apa definisi ‘adil’ menurut Anda? Dan bisa beri contoh situasi yang Anda maksud?”

‎Sering kali, ketika harus mendefinisikan ulang kata-kata itu, mereka sadar ternyata definisinya tidak solid.

‎Ini seperti kabut: kalau tidak disorot, tetap samar. Begitu Anda menyalakan lampu pertanyaan, bentuk aslinya terlihat jelas.

‎4. Pertanyaan “Bagaimana”: Bongkar Mekanisme Nyata


‎Pertanyaan “mengapa” sering dijawab dengan alasan abstrak. Tapi pertanyaan “bagaimana” memaksa lawan bicara memberi mekanisme nyata.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Kebijakan ini pasti berhasil.”
‎Anda: “Oke, bisa jelaskan bagaimana kebijakan ini bekerja mengatasi masalah A? Langkah-langkah konkretnya seperti apa?”

‎Di sinilah sering muncul kebingungan. Orang mungkin punya keyakinan kuat, tapi tidak punya detail mekanisme. Dengan pertanyaan sederhana, Anda sudah membuka celahnya.

‎5. Reductio ad Absurdum: Tunjukkan Konsekuensi Aneh


‎Teknik ini agak “nakal” tapi sangat efektif. Anda pura-pura setuju dengan premis lawan, lalu ikuti logikanya sampai ke kesimpulan yang absurd.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Kalau orang kaya kerja keras, orang miskin seharusnya juga bisa kaya. Kalau nggak bisa, berarti malas.”
‎Anda: “Kalau begitu, bayi yang lahir di keluarga miskin juga malas ya? Karena mereka otomatis miskin sejak lahir.”

‎Dengan cara ini, Anda tidak menyerang langsung, tapi membuat premis mereka sendiri menghasilkan konsekuensi yang konyol.

‎6. Tetap di Poin Utama, Jangan Tergoda Detail


‎Dalam debat, sering ada trik klasik: lawan bicara mengalihkan fokus ke detail kecil agar inti masalah terlupakan.

‎Contoh:
‎Anda mengkritik sistem transportasi yang macet. Mereka menjawab: “Tapi kemarin jalan tol baru dibuka, itu kan bukti pemerintah peduli.”

‎Alih-alih ikut membahas tol, Anda bisa berkata:
‎“Benar, itu hal baik. Tapi kalau kita kembali ke poin awal, macet di dalam kota masih parah, kan?”

‎Kuncinya: jangan ikut terseret arus. Tetap pegang kendali percakapan.

‎7. Pertanyaan Lanjutan: Senjata Terkuat


‎Pertanyaan pertama mungkin belum cukup. Justru pertanyaan kedua dan ketiga sering jadi penentu.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Saya yakin semua orang sukses karena kerja keras.”
‎Anda: “Oke, bisa sebut contoh orang sukses karena kerja keras?”
‎Lawan: “Ya, si A, dia kerja siang malam.”
‎Anda: “Menarik. Tadi Anda bilang ‘semua orang’, tapi contoh yang diberikan hanya satu. Apakah itu cukup untuk membuktikan pernyataan Anda?”

‎Dengan mendengarkan baik-baik, lalu mengajukan follow-up, Anda seperti menenun jaring logika yang akhirnya membuat lawan bicara terperangkap oleh ucapannya sendiri.

‎Contoh Nyata di Kehidupan Sehari-hari

‎Biar lebih jelas, mari ambil contoh ringan.

‎Bayangkan Anda sedang nongkrong dengan teman. Obrolan bergeser ke topik film. Teman Anda bilang:
‎“Film Indonesia selalu jelek.”

‎Kalau Anda bantah langsung: “Nggak kok, ada film bagus, contohnya A, B, C,” biasanya mereka tetap ngeyel: “Ah, itu kebetulan saja.”

‎Tapi kalau Anda bertanya:

‎“Maksudnya ‘selalu jelek’ itu bagaimana? Bisa sebut contoh film Indonesia yang jelek?”

‎“Kalau ada film yang menang penghargaan internasional, apakah itu tetap jelek?”

‎“Menurut Anda, apa definisi film yang bagus?”


‎Tanpa sadar, teman Anda mulai goyah. Argumen “selalu jelek” ternyata hanya berdasarkan beberapa contoh subjektif, bukan kenyataan objektif.

‎Seni, Bukan Trik

‎Penting dicatat: seni bertanya ini bukan untuk mempermalukan atau membuat orang kalah. Kalau tujuannya hanya menang, hasilnya percakapan jadi dingin dan penuh ego.

‎Gunakan teknik ini dengan niat baik: membantu orang berpikir lebih kritis, membuka jalan diskusi yang sehat, dan siapa tahu, Anda sendiri juga menemukan perspektif baru. Karena kadang, setelah kita gali argumen orang lain, ternyata ada juga poin yang masuk akal.

Kesimpulan: Bertanya Itu Menguasai

‎Dalam dunia debat, siapa yang bertanya sebenarnya lebih berkuasa daripada yang menjawab.
‎Pertanyaan yang tepat bisa:

‎Membongkar asumsi lemah.

‎Menyingkap inkonsistensi.

‎Menuntut definisi jelas.

‎Menguji mekanisme nyata.

‎Menunjukkan konsekuensi absurd.

‎Menjaga fokus tetap di inti masalah.

‎Membuat lawan bicara menjerat dirinya sendiri.


‎Dengan seni bertanya, Anda tidak perlu jadi paling pintar atau paling keras suara. Cukup jadi orang yang paling ingin tahu.

‎Jadi, lain kali Anda terjebak debat kusir, coba jangan buru-buru lempar data. Senyum, tenang, lalu ajukan pertanyaan. Biarkan lawan bicara yang sibuk menjawab—sementara Anda duduk menikmati prosesnya.

Related Posts: