 |
Ilustrasi With Gemini |
Hantu Tanpa Wajah
Sistem ini bukan lagi aturan,
ia telah menjelma jadi hantu tanpa wajah,
yang menari di ruang sidang,
yang berbisik di telinga penguasa,
yang menulis di balik layar kaca.
Ia tak punya tubuh,
tapi ia bisa meninju perut rakyat.
Ia tak punya mata,
tapi ia bisa mengintip isi kantong kita.
Ia tak punya suara,
tapi ia bisa menggelegar lebih keras dari teriakan buruh di jalanan.
Transparansi, katanya.
Tapi transparansi itu hanyalah cermin berdebu,
yang memantulkan kebohongan dengan wajah bercahaya.
Keadilan, katanya.
Tapi keadilan itu hanyalah kursi reyot yang dipoles emas,
agar tampak megah di hadapan kamera.
Dan rakyat?
Rakyat adalah bayangan panjang di bawah lampu redup.
Berdiri berbaris, menunggu giliran berbicara,
tapi mikrofon telah diputus sebelum suara sampai.
---
Seruan dari Lorong
Bangunlah, wahai yang tertindas!
Suaramu bukan milik mereka,
suaramu bukan angka di kertas kusam,
suaramu adalah bara yang membakar rantai.
Robeklah tirai penuh debu itu,
biarkan cahaya menembus ruang gelap.
Karena tanpa cahaya,
sejarah hanyalah panggung boneka
yang dimainkan oleh dalang busuk.
---
Kotak Suara Berdebu
Di sebuah desa,
seorang ibu membawa bayinya ke TPS.
Bayi itu menangis lapar,
tapi ia tetap berdiri di antrean,
karena katanya, satu suara bisa merubah bangsa.
Tapi kotak suara itu sudah berdebu,
sudah dipenuhi angka-angka pesanan.
Tangan rakyat menaruh harapan,
tapi mesin gelap mengunyah kertas itu,
mengubahnya jadi hantu statistik.
Di sebuah kota,
seorang mahasiswa menulis spanduk:
“Demokrasi Mati di Meja Panitia.”
Lalu ia diusir,
disebut provokator,
disebut ancaman,
padahal ia hanya anak muda
yang membaca luka bangsanya sendiri.
---
Irama Iblis
Lihatlah,
di layar kaca ada perdebatan sengit,
tapi itu hanyalah opera iblis,
dengan naskah yang sudah ditulis sejak awal.
Mereka berteriak,
mereka menuding,
mereka menyebut kata rakyat,
tapi di kantong jas mereka
ada daftar nama sponsor yang harus dipenuhi.
---
Bayangan dalam Cermin
Tan Malaka pernah berkata:
“Bila bangsa takut berpikir,
maka ia menyerahkan otaknya kepada penguasa.”
Kini kita berdiri di depan cermin besar,
melihat bangsa yang berpura-pura tidur,
bangsa yang menutup mata dengan kain emas,
bangsa yang lebih suka mimpi manis palsu
daripada kenyataan pahit.
Cermin itu pecah,
dan dari serpihannya lahir pertanyaan:
Apakah kemerdekaan ini benar-benar merdeka,
atau hanya peralihan rantai dari tangan ke tangan?
---
Bara yang Ditutupi
Wahai rakyat, bukalah matamu!
Di bawah abu masih ada bara,
di bawah reruntuhan masih ada benih.
Jangan biarkan bara itu padam,
jangan biarkan benih itu busuk.
Karena bangsa ini bukan kursi,
bangsa ini bukan gedung,
bangsa ini adalah tubuh kita sendiri.
---
Jalanan Bicara
Di jalanan sempit,
seorang tukang becak berteriak:
“Bajuku basah, tapi bukan karena hujan,
karena keringatku tak dihargai!”
Di pasar, seorang pedagang kecil berkata:
“Dagangan kami kalah oleh rak-rak besar
yang dibangun dengan modal asing!”
Di pabrik, seorang buruh perempuan menangis:
“Anakku sakit, tapi upahku tak cukup
membeli obat di negeri sendiri.”
Di sawah retak, seorang petani berbisik:
“Tanah ini subur,
tapi tanganku kosong,
karena harga ditentukan mereka yang duduk di kursi berlapis emas.”
---
Ratapan Tanah Air
Bangsa ini bagai ibu yang kehabisan air susu,
anak-anaknya lapar,
tapi ia dipaksa tersenyum di depan tamu asing.
Bangsa ini bagai pohon tua yang dipaku spanduk,
daunnya rontok,
tapi batangnya dipaksa berdiri
agar bisa jadi latar belakang foto pejabat.
---
Nyanyian Sunyi
Di malam yang sepi,
suara rakyat terdengar samar.
Tidak di televisi,
tidak di podium,
tapi di bisikan ibu pada anaknya,
di doa kakek pada tanah leluhurnya,
di mimpi bocah yang ingin sekolah tanpa takut lapar.
Mereka menyanyi,
bukan dengan nada indah,
tapi dengan nada retak
yang lahir dari dada penuh luka.
Nyanyian itu berkata:
“Kami bukan angka,
kami bukan pion,
kami bukan topeng untuk pidato.
Kami adalah nadi bangsa,
dan bila nadi ini berhenti,
maka kursi emasmu hanyalah bangkai kayu.”
---
Teriakan dari Perut Bangsa
Bangkitlah, bangkitlah,
jangan biarkan suaramu dipenjara!
Lawanlah, lawanlah,
jangan biarkan sejarah ditulis oleh tangan busuk!
Hancurkan panggung boneka itu,
robohkan kursi berlapis emas itu,
karena sejatinya,
tak ada kekuasaan lebih besar dari rakyat.
---
Cahaya yang Belum Datang
Malam ini masih gelap,
tapi di ufuk ada cahaya samar.
Cahaya belum datang,
tapi ia berjanji.
Pemberi Cahaya berkata pada bangsa:
“Aku akan datang,
meski kalian masih terlelap.
Aku akan datang,
meski kursi-kursi itu masih berdiri.
Aku akan datang,
karena tidak ada malam yang abadi,
tidak ada tirai yang tak bisa dirobek.”
---
Datangnya Janji
Lalu datang mereka,
rombongan wajah baru,
dengan spanduk putih dan suara lantang,
dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.
“Cukup sudah,” teriak mereka,
“tak ada lagi dusta,
tak ada lagi kursi berlumur darah,
tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.
Kami akan robek naskah lama,
kami akan tulis ulang sejarah,
kami akan jadikan rakyat tuan,
bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”
Dan rakyat bersorak.
Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
seperti angin yang membakar hutan kering,
seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.
Untuk sejenak,
cahaya terasa nyata.
Untuk sejenak,
harapan tampak bisa disentuh.
---
Lagu Harapan
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
ada bara di ujung jalan!
Meski langkahmu terhuyung,
meski bajumu basah keringat,
tapi suaramu masih bernyanyi.
Bangkitlah, wahai yang terhina,
ada janji di udara malam!
Meski belum nyata, meski samar,
tapi harapan tak bisa dibunuh.
---
Luka Kekalahan
Namun, di sudut gelap panggung,
ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
Mereka kalah,
dan kekalahan itu bagi mereka
bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.
“Kenapa bukan kami?”
bisik mereka dalam hati.
“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
Kenapa rakyat tidak memilih kami?
Kenapa sejarah begitu kejam?”
Mereka menatap pemenang
dengan mata penuh racun,
mereka menggertakkan gigi,
dan berjanji dalam diam:
“Jika kami tak bisa menang,
maka kami akan pastikan
tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”
---
Culas yang Menyebar
Culas bukan sekadar sifat,
culas adalah virus.
Ia berjalan dari mulut ke mulut,
menular lewat senyum manis,
menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.
Malas bukan sekadar kebiasaan,
malas adalah rantai.
Ia menjerat kaki,
membuat orang hanya bisa meratap,
tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.
Dan dendam?
Dendam adalah api liar,
yang membakar rumah sendiri,
yang menghancurkan ladang sendiri,
lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.
---
Pertarungan Bayangan
Di malam hari,
mereka berkumpul di ruang gelap,
menyusun rencana,
menulis strategi,
bukan untuk rakyat,
tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.
Mereka tak bicara tentang harga beras,
mereka tak bicara tentang upah buruh,
mereka tak bicara tentang sekolah bocor.
Mereka hanya bicara:
“Bagaimana menjatuhkan lawan?
Bagaimana merobek bendera mereka?
Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”
Mereka lupa,
bangsa ini bukan papan catur,
bangsa ini bukan permainan dadu.
Bangsa ini adalah tubuh,
dan tubuh yang dipukul dari dalam
akan roboh sebelum musuh datang dari luar.
---
Nyanyian Luka
Wahai rakyat, lihatlah!
Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.
Mereka berkata atas namamu,
tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
Mereka bersumpah demi bangsamu,
tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.
---
Irama Pengkhianat
Mereka berdiri di podium kecil,
membawa mikrofon murahan,
berteriak:
“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
Kami adalah korban dari konspirasi!
Kami adalah pilihan yang dicurangi!”
Dan rakyat kecil yang lelah
mulai goyah,
mulai bertanya:
“Apakah benar semua ini palsu?
Apakah benar suara kami dicuri?”
Sementara itu,
di belakang panggung,
ada segelintir orang kaya
yang menepuk pundak mereka,
menyodorkan uang,
menyodorkan janji,
menyodorkan dukungan palsu.
Karena bagi para penumpang gelap,
dendam adalah peluang bisnis.
---
Ironi Bangsa
Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”
Namun lihatlah kita hari ini:
Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
tapi lupa menanam padi.
Kita sibuk membicarakan kursi,
tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
Kita sibuk berdebat di televisi,
tapi lupa bahwa rakyat di kampung
tak punya televisi,
tak punya listrik,
bahkan tak punya nasi.
---
Dendam yang Menjadi Tembok
Dendam itu kini menjelma tembok,
memisahkan rakyat jadi dua kubu.
Satu kubu berkata:
“Kami pemenang sejati,
kamilah cahaya baru.”
Kubu lain berteriak:
“Kami korban penipuan,
kami disingkirkan,
kami dikhianati.”
Dan bangsa ini,
yang seharusnya satu tubuh,
kini bagai tulang retak
yang sakit setiap kali digerakkan.
---
Seruan dari Tengah Luka
Bangkitlah, wahai rakyat,
jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
jangan biarkan culas menular ke darahmu!
Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
bukan milik yang kalah saja,
tapi milik mereka yang bekerja,
milik mereka yang mencangkul,
milik mereka yang mengajar,
milik mereka yang melahirkan generasi baru.
---
Bara yang Terbagi
Maka malam itu,
di atas tanah basah hujan,
ada dua bara yang menyala.
Bara pemenang,
yang ingin membakar gelap.
Bara pecundang,
yang ingin membakar rumah sendiri.
Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
gemetar,
tak tahu bara mana yang harus diikuti.
---
Datangnya Janji
Lalu datang mereka,
rombongan wajah baru,
dengan spanduk putih dan suara lantang,
dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.
“Cukup sudah,” teriak mereka,
“tak ada lagi dusta,
tak ada lagi kursi berlumur darah,
tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.
Kami akan robek naskah lama,
kami akan tulis ulang sejarah,
kami akan jadikan rakyat tuan,
bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”
Dan rakyat bersorak.
Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
seperti angin yang membakar hutan kering,
seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.
Untuk sejenak,
cahaya terasa nyata.
Untuk sejenak,
harapan tampak bisa disentuh.
---
Lagu Harapan
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
ada bara di ujung jalan!
Meski langkahmu terhuyung,
meski bajumu basah keringat,
tapi suaramu masih bernyanyi.
Bangkitlah, wahai yang terhina,
ada janji di udara malam!
Meski belum nyata, meski samar,
tapi harapan tak bisa dibunuh.
---
Luka Kekalahan
Namun, di sudut gelap panggung,
ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
Mereka kalah,
dan kekalahan itu bagi mereka
bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.
“Kenapa bukan kami?”
bisik mereka dalam hati.
“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
Kenapa rakyat tidak memilih kami?
Kenapa sejarah begitu kejam?”
Mereka menatap pemenang
dengan mata penuh racun,
mereka menggertakkan gigi,
dan berjanji dalam diam:
“Jika kami tak bisa menang,
maka kami akan pastikan
tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”
---
Culas yang Menyebar
Culas bukan sekadar sifat,
culas adalah virus.
Ia berjalan dari mulut ke mulut,
menular lewat senyum manis,
menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.
Malas bukan sekadar kebiasaan,
malas adalah rantai.
Ia menjerat kaki,
membuat orang hanya bisa meratap,
tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.
Dan dendam?
Dendam adalah api liar,
yang membakar rumah sendiri,
yang menghancurkan ladang sendiri,
lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.
---
Pertarungan Bayangan
Di malam hari,
mereka berkumpul di ruang gelap,
menyusun rencana,
menulis strategi,
bukan untuk rakyat,
tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.
Mereka tak bicara tentang harga beras,
mereka tak bicara tentang upah buruh,
mereka tak bicara tentang sekolah bocor.
Mereka hanya bicara:
“Bagaimana menjatuhkan lawan?
Bagaimana merobek bendera mereka?
Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”
Mereka lupa,
bangsa ini bukan papan catur,
bangsa ini bukan permainan dadu.
Bangsa ini adalah tubuh,
dan tubuh yang dipukul dari dalam
akan roboh sebelum musuh datang dari luar.
---
Nyanyian Luka
Wahai rakyat, lihatlah!
Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.
Mereka berkata atas namamu,
tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
Mereka bersumpah demi bangsamu,
tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.
---
Irama Pengkhianat
Mereka berdiri di podium kecil,
membawa mikrofon murahan,
berteriak:
“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
Kami adalah korban dari konspirasi!
Kami adalah pilihan yang dicurangi!”
Dan rakyat kecil yang lelah
mulai goyah,
mulai bertanya:
“Apakah benar semua ini palsu?
Apakah benar suara kami dicuri?”
Sementara itu,
di belakang panggung,
ada segelintir orang kaya
yang menepuk pundak mereka,
menyodorkan uang,
menyodorkan janji,
menyodorkan dukungan palsu.
Karena bagi para penumpang gelap,
dendam adalah peluang bisnis.
---
Ironi Bangsa
Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”
Namun lihatlah kita hari ini:
Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
tapi lupa menanam padi.
Kita sibuk membicarakan kursi,
tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
Kita sibuk berdebat di televisi,
tapi lupa bahwa rakyat di kampung
tak punya televisi,
tak punya listrik,
bahkan tak punya nasi.
---
Dendam yang Menjadi Tembok
Dendam itu kini menjelma tembok,
memisahkan rakyat jadi dua kubu.
Satu kubu berkata:
“Kami pemenang sejati,
kamilah cahaya baru.”
Kubu lain berteriak:
“Kami korban penipuan,
kami disingkirkan,
kami dikhianati.”
Dan bangsa ini,
yang seharusnya satu tubuh,
kini bagai tulang retak
yang sakit setiap kali digerakkan.
---
Seruan dari Tengah Luka
Bangkitlah, wahai rakyat,
jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
jangan biarkan culas menular ke darahmu!
Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
bukan milik yang kalah saja,
tapi milik mereka yang bekerja,
milik mereka yang mencangkul,
milik mereka yang mengajar,
milik mereka yang melahirkan generasi baru.
---
Bara yang Terbagi
Maka malam itu,
di atas tanah basah hujan,
ada dua bara yang menyala.
Bara pemenang,
yang ingin membakar gelap.
Bara pecundang,
yang ingin membakar rumah sendiri.
Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
gemetar,
tak tahu bara mana yang harus diikuti.
---
Datangnya Janji
Lalu datang mereka,
rombongan wajah baru,
dengan spanduk putih dan suara lantang,
dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.
“Cukup sudah,” teriak mereka,
“tak ada lagi dusta,
tak ada lagi kursi berlumur darah,
tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.
Kami akan robek naskah lama,
kami akan tulis ulang sejarah,
kami akan jadikan rakyat tuan,
bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”
Dan rakyat bersorak.
Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
seperti angin yang membakar hutan kering,
seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.
Untuk sejenak,
cahaya terasa nyata.
Untuk sejenak,
harapan tampak bisa disentuh.
---
Lagu Harapan
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
ada bara di ujung jalan!
Meski langkahmu terhuyung,
meski bajumu basah keringat,
tapi suaramu masih bernyanyi.
Bangkitlah, wahai yang terhina,
ada janji di udara malam!
Meski belum nyata, meski samar,
tapi harapan tak bisa dibunuh.
---
Luka Kekalahan
Namun, di sudut gelap panggung,
ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
Mereka kalah,
dan kekalahan itu bagi mereka
bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.
“Kenapa bukan kami?”
bisik mereka dalam hati.
“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
Kenapa rakyat tidak memilih kami?
Kenapa sejarah begitu kejam?”
Mereka menatap pemenang
dengan mata penuh racun,
mereka menggertakkan gigi,
dan berjanji dalam diam:
“Jika kami tak bisa menang,
maka kami akan pastikan
tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”
---
Culas yang Menyebar
Culas bukan sekadar sifat,
culas adalah virus.
Ia berjalan dari mulut ke mulut,
menular lewat senyum manis,
menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.
Malas bukan sekadar kebiasaan,
malas adalah rantai.
Ia menjerat kaki,
membuat orang hanya bisa meratap,
tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.
Dan dendam?
Dendam adalah api liar,
yang membakar rumah sendiri,
yang menghancurkan ladang sendiri,
lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.
---
Pertarungan Bayangan
Di malam hari,
mereka berkumpul di ruang gelap,
menyusun rencana,
menulis strategi,
bukan untuk rakyat,
tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.
Mereka tak bicara tentang harga beras,
mereka tak bicara tentang upah buruh,
mereka tak bicara tentang sekolah bocor.
Mereka hanya bicara:
“Bagaimana menjatuhkan lawan?
Bagaimana merobek bendera mereka?
Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”
Mereka lupa,
bangsa ini bukan papan catur,
bangsa ini bukan permainan dadu.
Bangsa ini adalah tubuh,
dan tubuh yang dipukul dari dalam
akan roboh sebelum musuh datang dari luar.
---
Nyanyian Luka
Wahai rakyat, lihatlah!
Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.
Mereka berkata atas namamu,
tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
Mereka bersumpah demi bangsamu,
tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.
---
Irama Pengkhianat
Mereka berdiri di podium kecil,
membawa mikrofon murahan,
berteriak:
“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
Kami adalah korban dari konspirasi!
Kami adalah pilihan yang dicurangi!”
Dan rakyat kecil yang lelah
mulai goyah,
mulai bertanya:
“Apakah benar semua ini palsu?
Apakah benar suara kami dicuri?”
Sementara itu,
di belakang panggung,
ada segelintir orang kaya
yang menepuk pundak mereka,
menyodorkan uang,
menyodorkan janji,
menyodorkan dukungan palsu.
Karena bagi para penumpang gelap,
dendam adalah peluang bisnis.
---
Ironi Bangsa
Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”
Namun lihatlah kita hari ini:
Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
tapi lupa menanam padi.
Kita sibuk membicarakan kursi,
tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
Kita sibuk berdebat di televisi,
tapi lupa bahwa rakyat di kampung
tak punya televisi,
tak punya listrik,
bahkan tak punya nasi.
---
Dendam yang Menjadi Tembok
Dendam itu kini menjelma tembok,
memisahkan rakyat jadi dua kubu.
Satu kubu berkata:
“Kami pemenang sejati,
kamilah cahaya baru.”
Kubu lain berteriak:
“Kami korban penipuan,
kami disingkirkan,
kami dikhianati.”
Dan bangsa ini,
yang seharusnya satu tubuh,
kini bagai tulang retak
yang sakit setiap kali digerakkan.
---
Seruan dari Tengah Luka
Bangkitlah, wahai rakyat,
jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
jangan biarkan culas menular ke darahmu!
Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
bukan milik yang kalah saja,
tapi milik mereka yang bekerja,
milik mereka yang mencangkul,
milik mereka yang mengajar,
milik mereka yang melahirkan generasi baru.
---
Bara yang Terbagi
Maka malam itu,
di atas tanah basah hujan,
ada dua bara yang menyala.
Bara pemenang,
yang ingin membakar gelap.
Bara pecundang,
yang ingin membakar rumah sendiri.
Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
gemetar,
tak tahu bara mana yang harus diikuti.
---
Datangnya Janji
Lalu datang mereka,
rombongan wajah baru,
dengan spanduk putih dan suara lantang,
dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.
“Cukup sudah,” teriak mereka,
“tak ada lagi dusta,
tak ada lagi kursi berlumur darah,
tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.
Kami akan robek naskah lama,
kami akan tulis ulang sejarah,
kami akan jadikan rakyat tuan,
bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”
Dan rakyat bersorak.
Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
seperti angin yang membakar hutan kering,
seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.
Untuk sejenak,
cahaya terasa nyata.
Untuk sejenak,
harapan tampak bisa disentuh.
---
Lagu Harapan
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
ada bara di ujung jalan!
Meski langkahmu terhuyung,
meski bajumu basah keringat,
tapi suaramu masih bernyanyi.
Bangkitlah, wahai yang terhina,
ada janji di udara malam!
Meski belum nyata, meski samar,
tapi harapan tak bisa dibunuh.
---
Luka Kekalahan
Namun, di sudut gelap panggung,
ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
Mereka kalah,
dan kekalahan itu bagi mereka
bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.
“Kenapa bukan kami?”
bisik mereka dalam hati.
“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
Kenapa rakyat tidak memilih kami?
Kenapa sejarah begitu kejam?”
Mereka menatap pemenang
dengan mata penuh racun,
mereka menggertakkan gigi,
dan berjanji dalam diam:
“Jika kami tak bisa menang,
maka kami akan pastikan
tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”
---
Culas yang Menyebar
Culas bukan sekadar sifat,
culas adalah virus.
Ia berjalan dari mulut ke mulut,
menular lewat senyum manis,
menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.
Malas bukan sekadar kebiasaan,
malas adalah rantai.
Ia menjerat kaki,
membuat orang hanya bisa meratap,
tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.
Dan dendam?
Dendam adalah api liar,
yang membakar rumah sendiri,
yang menghancurkan ladang sendiri,
lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.
---
Pertarungan Bayangan
Di malam hari,
mereka berkumpul di ruang gelap,
menyusun rencana,
menulis strategi,
bukan untuk rakyat,
tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.
Mereka tak bicara tentang harga beras,
mereka tak bicara tentang upah buruh,
mereka tak bicara tentang sekolah bocor.
Mereka hanya bicara:
“Bagaimana menjatuhkan lawan?
Bagaimana merobek bendera mereka?
Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”
Mereka lupa,
bangsa ini bukan papan catur,
bangsa ini bukan permainan dadu.
Bangsa ini adalah tubuh,
dan tubuh yang dipukul dari dalam
akan roboh sebelum musuh datang dari luar.
---
Nyanyian Luka
Wahai rakyat, lihatlah!
Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.
Mereka berkata atas namamu,
tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
Mereka bersumpah demi bangsamu,
tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.
---
Irama Pengkhianat
Mereka berdiri di podium kecil,
membawa mikrofon murahan,
berteriak:
“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
Kami adalah korban dari konspirasi!
Kami adalah pilihan yang dicurangi!”
Dan rakyat kecil yang lelah
mulai goyah,
mulai bertanya:
“Apakah benar semua ini palsu?
Apakah benar suara kami dicuri?”
Sementara itu,
di belakang panggung,
ada segelintir orang kaya
yang menepuk pundak mereka,
menyodorkan uang,
menyodorkan janji,
menyodorkan dukungan palsu.
Karena bagi para penumpang gelap,
dendam adalah peluang bisnis.
---
Ironi Bangsa
Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”
Namun lihatlah kita hari ini:
Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
tapi lupa menanam padi.
Kita sibuk membicarakan kursi,
tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
Kita sibuk berdebat di televisi,
tapi lupa bahwa rakyat di kampung
tak punya televisi,
tak punya listrik,
bahkan tak punya nasi.
---
Dendam yang Menjadi Tembok
Dendam itu kini menjelma tembok,
memisahkan rakyat jadi dua kubu.
Satu kubu berkata:
“Kami pemenang sejati,
kamilah cahaya baru.”
Kubu lain berteriak:
“Kami korban penipuan,
kami disingkirkan,
kami dikhianati.”
Dan bangsa ini,
yang seharusnya satu tubuh,
kini bagai tulang retak
yang sakit setiap kali digerakkan.
---
Seruan dari Tengah Luka
Bangkitlah, wahai rakyat,
jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
jangan biarkan culas menular ke darahmu!
Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
bukan milik yang kalah saja,
tapi milik mereka yang bekerja,
milik mereka yang mencangkul,
milik mereka yang mengajar,
milik mereka yang melahirkan generasi baru.
---
Bara yang Terbagi
Maka malam itu,
di atas tanah basah hujan,
ada dua bara yang menyala.
Bara pemenang,
yang ingin membakar gelap.
Bara pecundang,
yang ingin membakar rumah sendiri.
Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
gemetar,
tak tahu bara mana yang harus diikuti.
---
Datangnya Janji
Lalu datang mereka,
rombongan wajah baru,
dengan spanduk putih dan suara lantang,
dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.
“Cukup sudah,” teriak mereka,
“tak ada lagi dusta,
tak ada lagi kursi berlumur darah,
tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.
Kami akan robek naskah lama,
kami akan tulis ulang sejarah,
kami akan jadikan rakyat tuan,
bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”
Dan rakyat bersorak.
Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
seperti angin yang membakar hutan kering,
seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.
Untuk sejenak,
cahaya terasa nyata.
Untuk sejenak,
harapan tampak bisa disentuh.
---
Lagu Harapan
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
ada bara di ujung jalan!
Meski langkahmu terhuyung,
meski bajumu basah keringat,
tapi suaramu masih bernyanyi.
Bangkitlah, wahai yang terhina,
ada janji di udara malam!
Meski belum nyata, meski samar,
tapi harapan tak bisa dibunuh.
---
Luka Kekalahan
Namun, di sudut gelap panggung,
ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
Mereka kalah,
dan kekalahan itu bagi mereka
bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.
“Kenapa bukan kami?”
bisik mereka dalam hati.
“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
Kenapa rakyat tidak memilih kami?
Kenapa sejarah begitu kejam?”
Mereka menatap pemenang
dengan mata penuh racun,
mereka menggertakkan gigi,
dan berjanji dalam diam:
“Jika kami tak bisa menang,
maka kami akan pastikan
tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”
---
Culas yang Menyebar
Culas bukan sekadar sifat,
culas adalah virus.
Ia berjalan dari mulut ke mulut,
menular lewat senyum manis,
menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.
Malas bukan sekadar kebiasaan,
malas adalah rantai.
Ia menjerat kaki,
membuat orang hanya bisa meratap,
tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.
Dan dendam?
Dendam adalah api liar,
yang membakar rumah sendiri,
yang menghancurkan ladang sendiri,
lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.
---
Pertarungan Bayangan
Di malam hari,
mereka berkumpul di ruang gelap,
menyusun rencana,
menulis strategi,
bukan untuk rakyat,
tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.
Mereka tak bicara tentang harga beras,
mereka tak bicara tentang upah buruh,
mereka tak bicara tentang sekolah bocor.
Mereka hanya bicara:
“Bagaimana menjatuhkan lawan?
Bagaimana merobek bendera mereka?
Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”
Mereka lupa,
bangsa ini bukan papan catur,
bangsa ini bukan permainan dadu.
Bangsa ini adalah tubuh,
dan tubuh yang dipukul dari dalam
akan roboh sebelum musuh datang dari luar.
---
Nyanyian Luka
Wahai rakyat, lihatlah!
Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.
Mereka berkata atas namamu,
tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
Mereka bersumpah demi bangsamu,
tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.
---
Irama Pengkhianat
Mereka berdiri di podium kecil,
membawa mikrofon murahan,
berteriak:
“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
Kami adalah korban dari konspirasi!
Kami adalah pilihan yang dicurangi!”
Dan rakyat kecil yang lelah
mulai goyah,
mulai bertanya:
“Apakah benar semua ini palsu?
Apakah benar suara kami dicuri?”
Sementara itu,
di belakang panggung,
ada segelintir orang kaya
yang menepuk pundak mereka,
menyodorkan uang,
menyodorkan janji,
menyodorkan dukungan palsu.
Karena bagi para penumpang gelap,
dendam adalah peluang bisnis.
---
Ironi Bangsa
Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”
Namun lihatlah kita hari ini:
Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
tapi lupa menanam padi.
Kita sibuk membicarakan kursi,
tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
Kita sibuk berdebat di televisi,
tapi lupa bahwa rakyat di kampung
tak punya televisi,
tak punya listrik,
bahkan tak punya nasi.
---
Dendam yang Menjadi Tembok
Dendam itu kini menjelma tembok,
memisahkan rakyat jadi dua kubu.
Satu kubu berkata:
“Kami pemenang sejati,
kamilah cahaya baru.”
Kubu lain berteriak:
“Kami korban penipuan,
kami disingkirkan,
kami dikhianati.”
Dan bangsa ini,
yang seharusnya satu tubuh,
kini bagai tulang retak
yang sakit setiap kali digerakkan.
---
Seruan dari Tengah Luka
Bangkitlah, wahai rakyat,
jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
jangan biarkan culas menular ke darahmu!
Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
bukan milik yang kalah saja,
tapi milik mereka yang bekerja,
milik mereka yang mencangkul,
milik mereka yang mengajar,
milik mereka yang melahirkan generasi baru.
---
Bara yang Terbagi
Maka malam itu,
di atas tanah basah hujan,
ada dua bara yang menyala.
Bara pemenang,
yang ingin membakar gelap.
Bara pecundang,
yang ingin membakar rumah sendiri.
Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
gemetar,
tak tahu bara mana yang harus diikuti.
---
Kursi yang Berbicara
Ada
kursi megah di tengah ruangan, terbuat dari kayu tua yang keropos,
ditutupi cat emas yang mengilap, dipoles setiap hari agar tampak abadi.
Kursi
itu bicara dalam diam, ia berkata: “Siapa pun yang duduk di atas
punggungku, akan mewarisi bukan hanya kuasa, tetapi juga beban kutukan
masa lalu.”
Mereka yang duduk, berpikir telah menguasai dunia,
padahal sejatinya, merekalah yang dikuasai kursi itu. Karena kursi
adalah panggung boneka, dan mereka hanyalah wayang yang tali-tali
benangnya digenggam tuan-tuan di balik layar.
---
Boneka di Singgasana
Lihatlah
boneka-boneka itu, tersenyum dengan wajah yang bukan milik mereka,
menangis dengan air mata yang tak pernah jatuh, berkata dengan suara
yang bukan suara hati.
Mereka menyanyikan lagu yang dipesan,
mereka menari mengikuti genderang, mereka mengangguk saat harus
mengangguk, dan pura-pura berani saat semua penonton menatap.
Kursi itu, oh kursi itu, bukan tahta kemuliaan, melainkan kandang emas, tempat jiwa terkurung sambil berpura-pura merdeka.
---
Politik Adu Domba
Mereka
yang duduk tak pernah puas, sebab kursi mereka goyah setiap saat. Untuk
bertahan, mereka menabur racun di tengah rakyat, mereka mengadu domba
sahabat dengan sahabat, tetangga dengan tetangga, kawan dengan kawan.
Persaudaraan
retak di meja makan, percakapan berubah jadi prasangka, senyum berubah
jadi curiga, dan tangan yang dulu bersalaman, kini saling menggenggam
batu.
Itu bukan politik, itu sihir kotor, yang mengubah
masyarakat menjadi medan perang tanpa peluru, tetapi penuh luka batin
yang tak terlihat.
---
Tandingan Palsu
Mereka
menciptakan tandingan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk
menutupi kebusukan. Mereka mendirikan menara-menara kata, membuat
partai-partai bayangan, menggagas gerakan palsu yang seolah-olah
menyuarakan rakyat, padahal hanya gema kosong yang diputar ulang di
ruang kaca.
Tandingan itu berdiri megah, namun rapuh seperti
dinding kardus. Ia berisik, berteriak, tapi tak punya isi. Dan ketika
rakyat datang mengetuk pintunya, yang terdengar hanyalah gema: “Janji,
janji, janji…”
---
Luka Kekalahan
Di
luar gedung megah itu, ada wajah-wajah yang muram. Mereka yang kalah
membawa luka yang belum sembuh. Sebagian memilih marah, menyulut api
cemburu, dan bersekutu dengan culas demi membalas dendam.
Sebagian
lain memilih diam, menarik diri ke pojok, menyulam harapan yang tersisa
dari benang-benang keyakinan. Namun semua luka itu adalah bahan bakar
yang suatu saat akan membakar habis kursi palsu.
---
Boneka di Singgasana
Boneka
di singgasana, tali-tali masih terlihat jelas. Penonton sudah tahu,
bahwa yang bergerak bukanlah manusia merdeka, melainkan alat hiburan
dari dalang yang tak pernah mau tampak.
Mereka mengangguk,
mereka membungkuk, mereka mencium tangan bayangan. Dan di luar gedung,
rakyat hanya bisa bertanya: “Berapa lama lagi pertunjukan ini harus kami
tonton?”
---
Kursi Retak
Kursi
itu akhirnya berderit, suara retaknya terdengar di lorong-lorong kota.
Retak itu bukan sekadar suara kayu tua, tapi tanda bahwa ilusi tak bisa
selamanya bertahan.
Boneka-boneka itu mulai kehilangan senyum,
topeng mereka retak oleh peluh, kata-kata mereka kehilangan bobot, dan
rakyat mulai sadar: bukan kursi yang mulia, bukan boneka yang bijak,
tetapi kekuatan rakyatlah yang akan menumbangkan panggung rapuh itu.
---
Suara Rakyat dari Segala Penjuru
Suara Sawah
Di tengah hamparan hijau padi, ada suara yang tenggelam di balik gemerisik angin.
Itu suara petani, tangan-tangan mereka retak seperti tanah kering,
punggung mereka melengkung seperti sabit tua,
namun senyum mereka tetap dipaksa terbit
meski perut kosong menjerit.
Mereka berkata:
“Kami memberi makan negeri,
tapi anak-anak kami makan sisa.
Kami menanam kehidupan,
tapi hidup kami sendiri terhimpit hutang.”
Sawah itu, oh sawah itu,
bukan lagi lahan subur,
melainkan papan catur
tempat tuan tanah dan tengkulak bermain taruhan.
---
Paduan Suara Rakyat
Dari sawah, dari pabrik, dari sekolah, dari jalanan,
suara rakyat menyatu jadi gelombang.
Mereka bernyanyi bukan dengan nada,
melainkan dengan luka yang sama.
“Cukup!
Kami bukan boneka,
kami bukan angka,
kami bukan catatan di kertas pemilu.
Kami adalah darah dan tulang negeri ini.”
---
Suara Mesin
Di balik dinding pabrik berkarat,
mesin berputar lebih kencang daripada detak jantung buruh.
Suara mereka tenggelam di bawah deru besi,
keringat mereka menetes jadi pelumas produksi,
dan hidup mereka dihitung per-jam,
seperti benda, bukan manusia.
Buruh berkata:
“Setiap hari kami memberi waktu,
tapi hidup kami tak pernah dibayar penuh.
Kami menghidupkan mesin,
tapi jiwa kami sendiri perlahan dimatikan.”
Mesin itu, oh mesin itu,
bukan sekadar alat produksi,
melainkan rantai besi
yang mengikat leher buruh agar tetap tunduk.
---
Suara Sekolah
Di ruang kelas berdebu,
guru menulis dengan kapur yang makin tipis.
Suara mereka serak,
karena sudah terlalu lama berteriak
tentang ilmu, tentang cita-cita,
yang tak pernah sampai ke telinga penguasa.
Guru berkata:
“Kami membangun masa depan dengan kata,
tapi kata-kata kami hanya jadi angin lalu.
Kami menyalakan pelita pengetahuan,
tapi pelita itu dibiarkan padam oleh kebijakan buta.”
Sekolah itu, oh sekolah itu,
seharusnya taman ilmu,
tapi kini jadi kandang angka,
tempat murid diukur bukan dari mimpi,
melainkan dari ujian dan statistik semu.
---
Suara Jalanan
Di lorong-lorong sempit,
anak-anak kecil berlari tanpa sandal.
Mereka tertawa dengan gigi yang ompong,
bermain dengan botol plastik bekas,
dan bermimpi tentang mainan yang tak pernah mereka miliki.
Mereka berkata:
“Kenapa langit tinggi, tapi atap rumah kami bocor?
Kenapa negeri kaya, tapi perut kami lapar?
Kenapa orang dewasa berdebat di kursi mewah,
sementara kami hanya ingin susu dan buku?”
Jalanan itu, oh jalanan itu,
adalah sekolah tanpa papan tulis,
adalah ranjang tanpa selimut,
adalah mimpi tanpa janji.
---
Paduan Suara Rakyat
Dari sawah, dari pabrik, dari sekolah, dari jalanan,
suara rakyat bersatu, tak bisa lagi dipisah.
Mereka bernyanyi dengan teriakan,
mereka menari dengan langkah lumpuh,
mereka berdoa dengan tangisan.
“Bangkit!
Bangkit!
Bangkit!
Kami bukan bayangan yang bisa kau injak.
Kami adalah daging, darah, dan mimpi
yang tak bisa kau kubur dengan kursi retakmu.”
---
Suara Perempuan
Di balik tirai rumah sederhana,
perempuan menyulam kehidupan dari sisa-sisa.
Mereka jadi ibu, jadi pekerja, jadi tulang punggung,
tapi juga jadi yang paling sering dilupakan.
Mereka berkata:
“Kami melahirkan generasi,
tapi kami juga melahirkan luka.
Kami membesarkan bangsa,
tapi kami juga yang paling sering ditinggalkan.”
Perempuan itu, oh perempuan itu,
bukan sekadar tiang rumah,
melainkan tiang bangsa,
yang jika tumbang,
maka seluruh negeri akan roboh.
---
Gelombang yang Tak Terbendung
Kini suara-suara itu bersatu,
tak lagi terpisah oleh profesi, gender, atau usia.
Mereka menyalakan api dari lidah,
mereka mengguncang bumi dengan langkah.
Gelombang itu datang,
bukan sebagai badai yang singkat,
melainkan sebagai ombak yang terus menerus,
mengikis batu kursi kekuasaan,
sampai boneka-boneka itu hanyut
dan rakyat kembali berdaulat.
---
Manifesto Cahaya Baru
Bara yang Menyala
Malam panjang memang masih menggantung,
tapi bara kecil sudah menyala di tiap dada.
Bara itu bukan lagi sekadar amarah,
melainkan keyakinan yang tumbuh dari luka.
Dari sawah, bara menjelma obor.
Dari pabrik, bara menjelma percikan baja.
Dari sekolah, bara menjelma kata.
Dari jalanan, bara menjelma teriakan.
Bara itu bersatu,
menjadi api yang tak bisa dipadamkan.
Bukan api dendam,
melainkan api kesadaran.
---
Rantai yang Retak
Rantai yang mengikat leher rakyat
mulai berderit, mulai melemah.
Besi tua tak bisa menahan
jutaan langkah yang serempak.
“Putus!
Putus!
Putus!”
Itulah suara yang bergema,
bukan sekadar dari satu mulut,
melainkan dari jutaan jiwa
yang tak rela lagi diperbudak ilusi.
Rantai itu akhirnya patah,
dan suara pecahannya
menjadi genderang kemenangan.
---
Fajar yang Terbit
Fajar datang, perlahan,
membelah langit gelap dengan garis merah.
Merah itu bukan darah semata,
melainkan tanda lahirnya hari baru.
Di ufuk timur, matahari tersenyum,
membawa cahaya yang membangunkan bumi.
Ia berkata:
“Bangunlah, wahai manusia merdeka.
Hari ini bukan kelanjutan dari kemarin,
hari ini adalah awal dari segalanya.”
Fajar itu, oh fajar itu,
bukan hadiah dari penguasa,
melainkan hasil dari perjuangan rakyat
yang menolak tunduk pada malam.
---
Manifesto Rakyat
Kini saatnya suara disatukan,
bukan dalam bisikan,
melainkan dalam manifesto.
“Kami adalah rakyat,
tulang dan daging negeri ini.
Kami bukan boneka,
bukan bayangan, bukan angka.
Kami menanam, kami bekerja, kami mengajar,
kami melahirkan, kami menjaga.
Tanpa kami, kursi hanyalah kayu kosong,
gedung hanyalah dinding hampa,
dan negara hanyalah nama tanpa jiwa.”
“Kami menuntut keadilan,
bukan sebagai hadiah,
tapi sebagai hak.
Kami menuntut kebenaran,
bukan sebagai wacana,
tapi sebagai kenyataan.
Kami menuntut hidup yang layak,
karena bumi ini milik semua,
bukan segelintir boneka di singgasana.”
---
Janji Generasi Baru
Anak-anak yang dulu lapar
kini berdiri dengan buku di tangan.
Mereka membaca bukan sekadar kata,
tetapi sejarah penderitaan orang tua mereka.
Perempuan yang dulu disisihkan
kini memimpin barisan dengan kepala tegak.
Mereka tak lagi menunggu izin,
karena hidup mereka sendiri adalah legitimasi.
Buruh yang dulu dibungkam
kini bersuara lantang di lapangan.
Mereka menuntut bukan hanya upah,
tapi martabat yang tak bisa ditawar.
Petani yang dulu diperas
kini menabur benih di tanah merdeka.
Mereka tahu bahwa bumi
hanya bisa subur jika dimiliki bersama.
Generasi baru ini berjanji:
“Kami tak akan mengulang kesalahan.
Kami tak akan duduk di kursi boneka.
Kami akan berdiri di tanah sendiri,
dengan kaki telanjang,
dengan tangan jujur,
dengan hati menyala.”
---
Lagu Cahaya Baru
Bangunlah, wahai bangsa,
bangun dari tidur panjang!
Sapu habis debu kebohongan,
robohkan panggung boneka,
buka jendela untuk cahaya baru!
Ini bukan sekadar lagu,
ini sumpah, ini janji, ini darah.
Darah yang menetes jadi tinta sejarah,
janji yang terucap jadi hukum baru,
sumpah yang diikat bukan dengan kata,
melainkan dengan tindakan bersama.
---
Dunia Baru
Kini rakyat berjalan,
bukan lagi di bawah bayang-bayang,
tapi di bawah cahaya fajar.
Mereka membangun kota,
dengan batu kejujuran dan semen solidaritas.
Mereka menanam pohon,
dengan air keadilan dan pupuk kebersamaan.
Mereka mengajar anak-anak,
dengan papan tulis yang ditulis kebenaran,
bukan propaganda.
Dunia baru itu bukan utopia,
bukan mimpi kosong,
melainkan realitas yang lahir
dari tangan-tangan rakyat sendiri.
---
Tak Akan Mundur
Dan bila suatu hari malam mencoba kembali,
jangan takut.
Karena bara sudah jadi api,
rantai sudah patah,
fajar sudah terbit,
dan rakyat sudah berjanji:
“Kami tak akan mundur.
Kami tak akan tunduk.
Kami tak akan rela dijadikan boneka lagi.”
Selama bumi masih berputar,
selama fajar masih datang,
selama darah masih mengalir,
maka manifesto rakyat akan tetap hidup,
menjadi nyanyian abadi
yang mengguncang kursi-kursi palsu,
dan mengukir nama bangsa ini
di langit sejarah.
Related Posts: