Chord Guitar Flames Of Change Michael Basst

 


Flames Of Change - Michael Basst 
‎ 
‎cipt. Michael Basst 

‎| C   G   | Am   F   |  
‎| C   G   | F       |

‎Verse 1 
‎C             G  
‎On this lonely road,  
‎     Am             F  
‎I walk through the night  
‎C                G  
‎Chasing a dream,  
‎        F  
‎searching for the light  
‎C               G  
‎Left my hometown,  
‎      Am            F  
‎the place I once knew  
‎C                G  
‎To find the fire,  
‎        F  
‎to find what is true

Verse 2

‎C             G  
‎Time has taught me  
‎      Am            F  
‎how to face the storm  
‎C             G  
‎Broken pieces made  
‎     F  
‎my spirit strong  
‎C                G  
‎A hidden voice is calling  
‎   Am         F  
‎deep inside  
‎C                G  
‎A restless heart  
‎       F  
‎that will never hide


‎| C   G   | Am   F |  
‎| C   G   | F   G |


‎Verse 3


‎C                 G  
‎Through the darkness,  
‎        Am        F  
‎I still survive  
‎C                 G  
‎Every heartbeat  
‎      F  
‎keeps the dream alive  
‎C                G  
‎Voices gather,  
‎       Am           F  
‎standing side by side  
‎C               G  
‎Together strong,  
‎       F  
‎with nothing to hide


Bridge 

‎Am             G  
‎Through the storm,  
‎      F        C  
‎I’ll stand my ground  
‎Am               G  
‎Truth is louder,  
‎        F         G  
‎it can’t be drowned  
‎Am              G  
‎Every scar is a  
‎        F       C  
‎story to be told  
‎Am              G  
‎I’m the hero  
‎       F         G  
‎with a heart of gold


Final Chorus

‎C           G  
‎I will rise, set the sky in flames  
‎     Am             F  
‎Carry hope through the pouring rain  
‎     C             G  
‎From the silence, I made a vow  
‎     F                G        C  
‎For the world, I’ll bring the revolution now


‎Outro

‎| C   G   | Am   F |  
‎C         G       C  
‎For the world… I’ll bring the revolution… now

Related Posts:

‎Seni Bertanya dalam Debat: Cara Elegan Membongkar Argumen Tanpa Ribut

 


Pernahkah Anda terjebak dalam debat? Anda tahu betul lawan bicara salah, tapi entah bagaimana sulit sekali membuktikannya. Saat Anda menyodorkan data, mereka malah menyangkal. Saat Anda mengutip fakta, mereka bilang itu bias. Alhasil, percakapan yang seharusnya produktif berubah jadi debat kusir yang bikin lelah.

‎Ternyata, ada cara lain yang jauh lebih elegan: bertanya dengan cerdas.
‎Ya, alih-alih memaksa orang menerima fakta, Anda bisa mengajukan pertanyaan yang membuat mereka sendiri mempertanyakan logikanya. Teknik ini sering disebut Socratic questioning—sebuah seni yang sudah dipakai ribuan tahun lalu oleh filsuf Yunani, Socrates, untuk membongkar pemikiran orang lain.

‎Menariknya, metode ini tidak hanya ampuh untuk memenangkan debat. Ia juga bisa membuat percakapan lebih sehat, mendorong orang berpikir kritis, dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih jernih—tanpa harus meninggikan suara atau kehilangan kendali.

‎Mari kita bahas bagaimana caranya.

‎Kenapa Fakta Sering Gagal?

‎Sebelum masuk ke teknik, kita perlu paham dulu: kenapa fakta sering tidak mempan?
‎Jawabannya sederhana: manusia punya ego dan bias.

‎Bayangkan Anda sedang ngobrol dengan teman soal diet. Anda bilang, “Makan malam lewat jam 8 itu nggak bikin gemuk, yang penting total kalori harian.” Lalu Anda kasih artikel ilmiah sebagai bukti. Apa responsnya?
‎Kemungkinan besar: “Ah, teori doang. Nyatanya banyak orang gemuk karena makan malam.”

‎Masalahnya, ketika fakta menyerang keyakinan yang sudah mereka yakini lama, otak mereka otomatis memasang “tameng pertahanan”. Ini disebut confirmation bias—kita cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita, meskipun benar.

‎Di sinilah seni bertanya jadi jalan keluar. Alih-alih melawan tameng itu dengan palu fakta, kita justru membiarkan lawan bicara membuka tamengnya sendiri, pelan-pelan.

‎Pertanyaan yang Menggiring, Bukan Menyerang

‎Kunci dari metode ini: pertanyaan bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membimbing.
‎Bayangkan Anda sedang jalan bareng teman di lorong gelap. Alih-alih berteriak “Jangan ke sana, itu jalan buntu!”, lebih efektif kalau Anda bertanya, “Kalau ke arah situ, kira-kira ujungnya ke mana ya? Pernah ada yang lewat sana?”

‎Dengan begitu, mereka merasa ikut menemukan jawabannya sendiri.

‎Sekarang mari kita bedah satu per satu teknik bertanya yang bisa Anda gunakan.

‎1. Pertanyaan Socratic: Kupas Asumsi Dasar


‎Teknik klasik ini sederhana tapi tajam. Alih-alih langsung menyerang kesimpulan lawan, gali dulu asumsi yang mendasarinya.

‎Misalnya, lawan bicara bilang:
‎“Semua anak muda sekarang malas bekerja.”

‎Daripada Anda langsung bantah, cobalah bertanya:

‎“Bisa jelaskan lebih lanjut, kenapa Anda sampai pada kesimpulan itu?”

‎“Menurut Anda, apa yang membuat mereka dianggap malas?”


‎Pelan-pelan, orang tersebut akan menyadari bahwa pendapatnya berdiri di atas asumsi yang lemah: mungkin hanya berdasarkan beberapa contoh, bukan fakta umum.

‎Teknik ini seperti mengupas bawang—lapis demi lapis—sampai terlihat inti yang sebenarnya rapuh.

‎2. Pertanyaan Hipotesis: Uji Konsistensi


‎Sebuah argumen yang kokoh harus konsisten di berbagai situasi. Kalau tidak, berarti ada celah.

‎Contoh:
‎Teman Anda berkata, “Kalau orang miskin tetap miskin, itu salah mereka sendiri karena malas bekerja.”

‎Anda bisa bertanya:

‎“Kalau ada orang sakit parah sampai tidak bisa bekerja, apakah itu juga salah mereka?”

‎“Kalau anak lahir di keluarga miskin dan tidak dapat akses sekolah, apakah dia tetap salah?”


‎Dengan membayangkan skenario lain, mereka dipaksa menguji ulang konsistensi argumennya. Kalau logika itu runtuh di contoh lain, maka lemah pula di kasus awal.

‎3. Klarifikasi Definisi: Jangan Terjebak Kata-Kata Kabur


‎Banyak argumen berdiri di atas istilah yang kabur: “selalu”, “tidak pernah”, “kebebasan”, “keadilan”.

‎Contoh debat:
‎Lawan bicara: “Pemerintah tidak pernah adil.”
‎Anda: “Menarik. Bisa dijelaskan, apa definisi ‘adil’ menurut Anda? Dan bisa beri contoh situasi yang Anda maksud?”

‎Sering kali, ketika harus mendefinisikan ulang kata-kata itu, mereka sadar ternyata definisinya tidak solid.

‎Ini seperti kabut: kalau tidak disorot, tetap samar. Begitu Anda menyalakan lampu pertanyaan, bentuk aslinya terlihat jelas.

‎4. Pertanyaan “Bagaimana”: Bongkar Mekanisme Nyata


‎Pertanyaan “mengapa” sering dijawab dengan alasan abstrak. Tapi pertanyaan “bagaimana” memaksa lawan bicara memberi mekanisme nyata.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Kebijakan ini pasti berhasil.”
‎Anda: “Oke, bisa jelaskan bagaimana kebijakan ini bekerja mengatasi masalah A? Langkah-langkah konkretnya seperti apa?”

‎Di sinilah sering muncul kebingungan. Orang mungkin punya keyakinan kuat, tapi tidak punya detail mekanisme. Dengan pertanyaan sederhana, Anda sudah membuka celahnya.

‎5. Reductio ad Absurdum: Tunjukkan Konsekuensi Aneh


‎Teknik ini agak “nakal” tapi sangat efektif. Anda pura-pura setuju dengan premis lawan, lalu ikuti logikanya sampai ke kesimpulan yang absurd.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Kalau orang kaya kerja keras, orang miskin seharusnya juga bisa kaya. Kalau nggak bisa, berarti malas.”
‎Anda: “Kalau begitu, bayi yang lahir di keluarga miskin juga malas ya? Karena mereka otomatis miskin sejak lahir.”

‎Dengan cara ini, Anda tidak menyerang langsung, tapi membuat premis mereka sendiri menghasilkan konsekuensi yang konyol.

‎6. Tetap di Poin Utama, Jangan Tergoda Detail


‎Dalam debat, sering ada trik klasik: lawan bicara mengalihkan fokus ke detail kecil agar inti masalah terlupakan.

‎Contoh:
‎Anda mengkritik sistem transportasi yang macet. Mereka menjawab: “Tapi kemarin jalan tol baru dibuka, itu kan bukti pemerintah peduli.”

‎Alih-alih ikut membahas tol, Anda bisa berkata:
‎“Benar, itu hal baik. Tapi kalau kita kembali ke poin awal, macet di dalam kota masih parah, kan?”

‎Kuncinya: jangan ikut terseret arus. Tetap pegang kendali percakapan.

‎7. Pertanyaan Lanjutan: Senjata Terkuat


‎Pertanyaan pertama mungkin belum cukup. Justru pertanyaan kedua dan ketiga sering jadi penentu.

‎Contoh:
‎Lawan bicara: “Saya yakin semua orang sukses karena kerja keras.”
‎Anda: “Oke, bisa sebut contoh orang sukses karena kerja keras?”
‎Lawan: “Ya, si A, dia kerja siang malam.”
‎Anda: “Menarik. Tadi Anda bilang ‘semua orang’, tapi contoh yang diberikan hanya satu. Apakah itu cukup untuk membuktikan pernyataan Anda?”

‎Dengan mendengarkan baik-baik, lalu mengajukan follow-up, Anda seperti menenun jaring logika yang akhirnya membuat lawan bicara terperangkap oleh ucapannya sendiri.

‎Contoh Nyata di Kehidupan Sehari-hari

‎Biar lebih jelas, mari ambil contoh ringan.

‎Bayangkan Anda sedang nongkrong dengan teman. Obrolan bergeser ke topik film. Teman Anda bilang:
‎“Film Indonesia selalu jelek.”

‎Kalau Anda bantah langsung: “Nggak kok, ada film bagus, contohnya A, B, C,” biasanya mereka tetap ngeyel: “Ah, itu kebetulan saja.”

‎Tapi kalau Anda bertanya:

‎“Maksudnya ‘selalu jelek’ itu bagaimana? Bisa sebut contoh film Indonesia yang jelek?”

‎“Kalau ada film yang menang penghargaan internasional, apakah itu tetap jelek?”

‎“Menurut Anda, apa definisi film yang bagus?”


‎Tanpa sadar, teman Anda mulai goyah. Argumen “selalu jelek” ternyata hanya berdasarkan beberapa contoh subjektif, bukan kenyataan objektif.

‎Seni, Bukan Trik

‎Penting dicatat: seni bertanya ini bukan untuk mempermalukan atau membuat orang kalah. Kalau tujuannya hanya menang, hasilnya percakapan jadi dingin dan penuh ego.

‎Gunakan teknik ini dengan niat baik: membantu orang berpikir lebih kritis, membuka jalan diskusi yang sehat, dan siapa tahu, Anda sendiri juga menemukan perspektif baru. Karena kadang, setelah kita gali argumen orang lain, ternyata ada juga poin yang masuk akal.

Kesimpulan: Bertanya Itu Menguasai

‎Dalam dunia debat, siapa yang bertanya sebenarnya lebih berkuasa daripada yang menjawab.
‎Pertanyaan yang tepat bisa:

‎Membongkar asumsi lemah.

‎Menyingkap inkonsistensi.

‎Menuntut definisi jelas.

‎Menguji mekanisme nyata.

‎Menunjukkan konsekuensi absurd.

‎Menjaga fokus tetap di inti masalah.

‎Membuat lawan bicara menjerat dirinya sendiri.


‎Dengan seni bertanya, Anda tidak perlu jadi paling pintar atau paling keras suara. Cukup jadi orang yang paling ingin tahu.

‎Jadi, lain kali Anda terjebak debat kusir, coba jangan buru-buru lempar data. Senyum, tenang, lalu ajukan pertanyaan. Biarkan lawan bicara yang sibuk menjawab—sementara Anda duduk menikmati prosesnya.

Related Posts:

Analisis Perkembangan Retak pada CRCP

Continuously Reinforced Concrete Pavement (CRCP) merupakan alternatif perkerasan jalan yang menawarkan keandalan struktural tinggi dengan umur rencana yang lebih panjang dibanding perkerasan lentur maupun beton berjoint (JPCP). Penelitian ini mengevaluasi kinerja CRCP pada ruas jalan tertentu dengan membandingkan laju retak dan kelicinan permukaan (IRI) terhadap JPCP. Hasil pengamatan menunjukkan distribusi retak dominan pada jarak 0,8–3 m dengan lebar rata-rata 0,098 mm, jauh di bawah nilai desain 1 mm. Indeks IRI CRCP lebih rendah dan lebih stabil dibanding JPCP yang mengalami peningkatan sebesar 0,2 dalam 3 tahun. Dari aspek ekonomi, CRCP menurunkan biaya operasi kendaraan hingga 20% melalui efisiensi bahan bakar, serta memberikan tambahan umur layanan minimal 10 tahun. Selain itu, penerapan CRCP berpotensi menurunkan emisi CO hingga 70% dan NOx hingga 45%, sekaligus mengurangi kebisingan lalu lintas. Kendati memiliki biaya awal tinggi dan menuntut konstruksi yang presisi, CRCP terbukti sebagai pilihan strategis untuk jalan dengan volume lalu lintas tinggi.

‎Tingkat retak diperoleh melalui kompilasi data panjang retakan berdasarkan metode mapping pada segmen uji. Data yang ditampilkan pada Gambar 5 dinyatakan dalam satuan m/m². Evaluasi dilakukan pada setiap segmen sepanjang 150 m, dengan rata-rata diambil dari tiga lajur lalu lintas dan bahu kiri untuk Jalan Tol A, serta tiga lajur untuk Jalan Tol B.

‎Pada musim pertama, yakni empat bulan setelah pembukaan lalu lintas, tingkat retak menunjukkan keseragaman pada keempat segmen uji. Perkembangan retak pada Jalan Tol A tetap signifikan pada periode selanjutnya, meskipun laju pertambahannya relatif menurun. Tiga puluh bulan pasca-rekonstruksi, tingkat retak tercatat 0,83 m/m² pada segmen 1 dan 0,89 m/m² pada segmen 2. Nilai ini berada pada kisaran kriteria minimum lebar retakan yang digunakan dalam desain perkuatan Jalan Tol A, yaitu 1,07 m (≈ 3,5 kaki).

‎Verifikasi lapangan dilakukan melalui analisis jarak antar retakan berdasarkan data pemetaan bulan Juni 2022. Distribusi jarak retakan menunjukkan bahwa:

‎9% berada pada interval 0,2–0,6 m,

‎20% berada pada interval 0,5–0,8 m,

‎60% berada pada interval 0,8–3 m,

‎8% melebihi 3 m.


‎Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sebagian jarak retakan berada di bawah nilai batas desain, sehingga memerlukan pengawasan lebih lanjut. Meskipun demikian, hingga saat ini perkerasan beton bertulang kontinu (CRCP) tidak menunjukkan indikasi kerusakan struktural.

‎Pada Jalan Tol B, pengukuran lebar retakan dilakukan menggunakan metode komparatif. Nilai lebar retakan yang terukur antara musim semi (17,5°C) dan musim dingin (–22,5°C) adalah 0,183 mm; 0,057 mm; dan 0,055 mm, dengan rata-rata 0,098 mm. Pengukuran lanjutan pada Juni 2023 pada suhu 37°C menunjukkan selisih 0,1 mm dibandingkan dengan hasil pengukuran saat pembukaan musim dingin. Nilai ini secara signifikan lebih kecil daripada lebar retakan yang direncanakan dalam desain (1 mm).

‎Lebih lanjut, nilai 0,1 mm tersebut sejalan dengan hasil penelitian di Belgia, yang melaporkan kisaran lebar retakan serupa pada kondisi suhu –1°C hingga 19°C. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa perilaku retak pada CRCP dalam penelitian ini masih berada dalam batas aman serta konsisten dengan data empiris internasional.

Evaluasi Smoothness pada Perkerasan

Pengukuran profil longitudinal dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kelicinan permukaan perkerasan (smoothness), yaitu sejauh mana ketidakrataan pada lintasan roda jika dibandingkan dengan permukaan acuan yang dianggap sempurna. Indeks yang digunakan oleh MTQ (Ministère des Transports du Québec) untuk menilai kelicinan adalah IRI (International Roughness Index).

‎Skala IRI untuk perkerasan beraspal berkisar antara 0 hingga 12, di mana 0 merepresentasikan permukaan yang benar-benar halus. Spesifikasi teknis menetapkan bahwa nilai 1,2 merupakan batas maksimum yang diizinkan. Apabila nilai IRI melebihi batas tersebut, kontraktor berpotensi dikenakan penalti. Untuk Jalan Tol A, penggilingan (grinding) dilarang pada nilai hingga 1,8, sehingga batasan ini tidak berlaku untuk proyek di Jalan Tol B.


Gambar Nilai IRI


‎Pada (Gambar) memperlihatkan nilai rata-rata IRI pada tiga lajur untuk keseluruhan segmen CRCP sepanjang 2 km di Jalan Tol A, serta pada segmen JPCP (Jointed Plain Concrete Pavement) sepanjang 1,5 km yang bersebelahan langsung dengan segmen CRCP tersebut. Nilai rata-rata IRI pada ketiga lajur Jalan Tol B juga ditampilkan sebagai pembanding.

‎Segera setelah rekonstruksi, nilai IRI pada dua dari tiga lajur dengan JPCP tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan CRCP. Setelah tiga tahun, perubahan nilai IRI pada CRCP relatif kecil, sedangkan pada JPCP terdapat peningkatan sebesar 0,2. Pada Jalan Tol B, tercatat adanya peningkatan kecil pada nilai IRI selama musim dingin pertama.

‎Temuan ini menunjukkan bahwa perkerasan CRCP memiliki kinerja lebih stabil dalam mempertahankan kelicinan permukaan dibandingkan JPCP pada periode observasi yang sama. Stabilitas ini menjadi salah satu indikator keunggulan CRCP dalam aspek kenyamanan berkendara dan ketahanan terhadap deformasi permukaan akibat kondisi iklim ekstrem.

KESIMPULAN

‎1. Perbandingan dengan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement):
‎Perkerasan beton bertulang kontinu (CRCP) memberikan umur rencana tambahan minimal 10 tahun dibandingkan dengan perkerasan lentur. Selain itu, CRCP menawarkan kualitas kenyamanan berkendara yang lebih baik, gangguan lalu lintas yang lebih sedikit, serta penghematan biaya operasional kendaraan melalui berkurangnya konsumsi bahan bakar, pelumas, dan komponen lainnya.


‎2. Keunggulan dari Aspek Keandalan:
‎Dengan mempertimbangkan daya tahan dan sifat maintenance-free, CRCP layak diterapkan sebagai pilihan utama pada pembangunan jalan beton modern.


‎3. Material Penguat (TMT Bars):
‎Penggunaan baja TMT (Thermo Mechanically Treated) sangat disarankan pada perkerasan CRCP. Untuk wilayah dengan potensi korosi tinggi, baja TMT tahan korosi merupakan pilihan yang lebih tepat.


‎4. Keterbatasan CRCP:
‎Kelemahan utama CRCP terletak pada biaya awal konstruksi yang tinggi serta kesulitan dalam pelaksanaan pekerjaan perbaikan jika konstruksi awal tidak dilakukan secara tepat.


‎5. Kenyamanan Berkendara:
‎Sebagai perkerasan tanpa sambungan (jointless pavement), CRCP menyediakan permukaan jalan yang halus dan stabil sehingga meningkatkan kenyamanan berkendara dan keselamatan pengguna jalan.


‎6. Biaya Pemeliharaan Rendah:
‎CRCP memerlukan biaya pemeliharaan dan rehabilitasi yang minimal. Selain itu, CRCP mampu menekan beban dinamis yang merugikan baik bagi kendaraan maupun perkerasan itu sendiri. Dampak lingkungan juga lebih baik, dengan potensi penurunan konsentrasi CO sebesar ±70% dan NOx sebesar ±45%, serta berkurangnya tingkat kebisingan di koridor dengan kepadatan penduduk tinggi.


‎7. Ketahanan terhadap Beban Lalu Lintas:
‎Beton memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap beban lalu lintas berat. Dengan demikian, masalah seperti alur (ruts) atau deformasi plastis (shoving) yang umum terjadi pada perkerasan aspal dapat dihindari.


‎8. Efisiensi Energi Kendaraan:
‎Permukaan beton yang keras dan halus menghasilkan interaksi optimal dengan roda kendaraan. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar truk hingga 20%, yang pada akhirnya menurunkan biaya operasional kendaraan.


‎9. Efisiensi Waktu dan Produktivitas:
‎CRCP mendukung kecepatan kendaraan yang lebih tinggi, sehingga berkontribusi pada penghematan waktu dan biaya perjalanan. Layanan jalan yang hampir bebas pemeliharaan juga mengurangi gangguan lalu lintas serta kehilangan jam kerja akibat keterlambatan perjalanan.


‎10. Dampak Ekonomi Makro:
‎Penggunaan CRCP dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan pada impor aspal (bitumen), yang pada gilirannya memberikan penghematan devisa negara.

REKOMENDASI

‎1. Implementasi Skala Nasional
‎Mengingat umur layanan yang lebih panjang, biaya operasional kendaraan yang lebih rendah, serta dampak lingkungan yang positif, CRCP sebaiknya dipertimbangkan sebagai standar utama untuk jalan arteri dan jalan tol di Indonesia, terutama pada koridor dengan lalu lintas berat dan kepadatan tinggi.


‎2. Pemilihan Material

‎Baja TMT tahan korosi direkomendasikan pada wilayah dengan kelembapan tinggi atau lingkungan agresif (misalnya dekat pantai).

‎Kualitas beton harus dikendalikan ketat dengan mix design yang mempertimbangkan shrinkage, modulus elastisitas, dan ketahanan terhadap siklus termal.



‎3. Standarisasi Desain & Konstruksi
‎Perlu penyusunan pedoman nasional mengenai desain, metode pelaksanaan, serta kriteria evaluasi kinerja CRCP. Hal ini akan meminimalkan risiko kesalahan konstruksi yang dapat meningkatkan biaya perbaikan di kemudian hari.


‎4. Penelitian Lanjutan

‎Studi life-cycle cost analysis (LCCA) untuk membandingkan CRCP dengan perkerasan lentur pada berbagai kondisi iklim di Indonesia.

‎Evaluasi jangka panjang terkait kinerja retak (crack performance) dan nilai IRI (smoothness) dengan mempertimbangkan variasi beban sumbu kendaraan yang sering melebihi standar.

‎Analisis dampak lingkungan berbasis data empiris lokal, khususnya emisi gas buang dan tingkat kebisingan.



‎5. Skema Pembiayaan
‎Karena CRCP memiliki biaya awal tinggi, maka model pembiayaan alternatif seperti Public-Private Partnership (PPP) atau skema availability payment dapat diterapkan. Dengan demikian, investasi awal dapat ditekan tanpa mengorbankan kualitas jangka panjang.


‎6. Pelatihan dan Kapasitas SDM
‎Tenaga kerja konstruksi dan pengawas lapangan perlu dilatih khusus mengenai teknologi CRCP, terutama terkait pengendalian retak, pemadatan beton, dan curing process.


‎7. Kebijakan Infrastruktur Berkelanjutan
‎Adopsi CRCP selaras dengan target Net Zero Emission 2060 Indonesia, karena:

‎Mengurangi emisi CO dan NOx,

‎Menekan konsumsi bahan bakar kendaraan,

‎Menurunkan kebutuhan impor aspal berbasis minyak bumi.

‎Referensi :


AASHTO. (2010). Guide for Design of Pavement Structures.

‎MTQ. (2003). Pavement Performance Monitoring Report.

Belgian Road Research Centre. (2001). Crack Spacing and Width in CRCP.

‎Huang, Y. H. (2004). Pavement Analysis and Design. Pearson.

Related Posts:

‎Balada Gelap Transparansi

Ilustrasi With Gemini


Hantu Tanpa Wajah

‎Sistem ini bukan lagi aturan,
‎ia telah menjelma jadi hantu tanpa wajah,
‎yang menari di ruang sidang,
‎yang berbisik di telinga penguasa,
‎yang menulis di balik layar kaca.

‎Ia tak punya tubuh,
‎tapi ia bisa meninju perut rakyat.
‎Ia tak punya mata,
‎tapi ia bisa mengintip isi kantong kita.
‎Ia tak punya suara,
‎tapi ia bisa menggelegar lebih keras dari teriakan buruh di jalanan.

‎Transparansi, katanya.
‎Tapi transparansi itu hanyalah cermin berdebu,
‎yang memantulkan kebohongan dengan wajah bercahaya.
‎Keadilan, katanya.
‎Tapi keadilan itu hanyalah kursi reyot yang dipoles emas,
‎agar tampak megah di hadapan kamera.

‎Dan rakyat?
‎Rakyat adalah bayangan panjang di bawah lampu redup.
‎Berdiri berbaris, menunggu giliran berbicara,
‎tapi mikrofon telah diputus sebelum suara sampai.


‎---

Seruan dari Lorong

‎Bangunlah, wahai yang tertindas!
‎Suaramu bukan milik mereka,
‎suaramu bukan angka di kertas kusam,
‎suaramu adalah bara yang membakar rantai.

‎Robeklah tirai penuh debu itu,
‎biarkan cahaya menembus ruang gelap.
‎Karena tanpa cahaya,
‎sejarah hanyalah panggung boneka
‎yang dimainkan oleh dalang busuk.

‎---

Kotak Suara Berdebu

‎Di sebuah desa,
‎seorang ibu membawa bayinya ke TPS.
‎Bayi itu menangis lapar,
‎tapi ia tetap berdiri di antrean,
‎karena katanya, satu suara bisa merubah bangsa.

‎Tapi kotak suara itu sudah berdebu,
‎sudah dipenuhi angka-angka pesanan.
‎Tangan rakyat menaruh harapan,
‎tapi mesin gelap mengunyah kertas itu,
‎mengubahnya jadi hantu statistik.

‎Di sebuah kota,
‎seorang mahasiswa menulis spanduk:
‎“Demokrasi Mati di Meja Panitia.”
‎Lalu ia diusir,
‎disebut provokator,
‎disebut ancaman,
‎padahal ia hanya anak muda
‎yang membaca luka bangsanya sendiri.


‎---
 

Irama Iblis

‎Lihatlah,
‎di layar kaca ada perdebatan sengit,
‎tapi itu hanyalah opera iblis,
‎dengan naskah yang sudah ditulis sejak awal.

‎Mereka berteriak,
‎mereka menuding,
‎mereka menyebut kata rakyat,
‎tapi di kantong jas mereka
‎ada daftar nama sponsor yang harus dipenuhi.


‎---

Bayangan dalam Cermin

‎Tan Malaka pernah berkata:
‎“Bila bangsa takut berpikir,
‎maka ia menyerahkan otaknya kepada penguasa.”

‎Kini kita berdiri di depan cermin besar,
‎melihat bangsa yang berpura-pura tidur,
‎bangsa yang menutup mata dengan kain emas,
‎bangsa yang lebih suka mimpi manis palsu
‎daripada kenyataan pahit.

‎Cermin itu pecah,
‎dan dari serpihannya lahir pertanyaan:
‎Apakah kemerdekaan ini benar-benar merdeka,
‎atau hanya peralihan rantai dari tangan ke tangan?


‎---

Bara yang Ditutupi

‎Wahai rakyat, bukalah matamu!
‎Di bawah abu masih ada bara,
‎di bawah reruntuhan masih ada benih.

‎Jangan biarkan bara itu padam,
‎jangan biarkan benih itu busuk.
‎Karena bangsa ini bukan kursi,
‎bangsa ini bukan gedung,
‎bangsa ini adalah tubuh kita sendiri.


‎---

Jalanan Bicara

‎Di jalanan sempit,
‎seorang tukang becak berteriak:
‎“Bajuku basah, tapi bukan karena hujan,
‎karena keringatku tak dihargai!”

‎Di pasar, seorang pedagang kecil berkata:
‎“Dagangan kami kalah oleh rak-rak besar
‎yang dibangun dengan modal asing!”

‎Di pabrik, seorang buruh perempuan menangis:
‎“Anakku sakit, tapi upahku tak cukup
‎membeli obat di negeri sendiri.”

‎Di sawah retak, seorang petani berbisik:
‎“Tanah ini subur,
‎tapi tanganku kosong,
‎karena harga ditentukan mereka yang duduk di kursi berlapis emas.”


‎---

Ratapan Tanah Air

‎Bangsa ini bagai ibu yang kehabisan air susu,
‎anak-anaknya lapar,
‎tapi ia dipaksa tersenyum di depan tamu asing.

‎Bangsa ini bagai pohon tua yang dipaku spanduk,
‎daunnya rontok,
‎tapi batangnya dipaksa berdiri
‎agar bisa jadi latar belakang foto pejabat.


‎---

Nyanyian Sunyi

‎Di malam yang sepi,
‎suara rakyat terdengar samar.
‎Tidak di televisi,
‎tidak di podium,
‎tapi di bisikan ibu pada anaknya,
‎di doa kakek pada tanah leluhurnya,
‎di mimpi bocah yang ingin sekolah tanpa takut lapar.

‎Mereka menyanyi,
‎bukan dengan nada indah,
‎tapi dengan nada retak
‎yang lahir dari dada penuh luka.

‎Nyanyian itu berkata:
‎“Kami bukan angka,
‎kami bukan pion,
‎kami bukan topeng untuk pidato.
‎Kami adalah nadi bangsa,
‎dan bila nadi ini berhenti,
‎maka kursi emasmu hanyalah bangkai kayu.”


‎---

Teriakan dari Perut Bangsa

‎Bangkitlah, bangkitlah,
‎jangan biarkan suaramu dipenjara!
‎Lawanlah, lawanlah,
‎jangan biarkan sejarah ditulis oleh tangan busuk!

‎Hancurkan panggung boneka itu,
‎robohkan kursi berlapis emas itu,
‎karena sejatinya,
‎tak ada kekuasaan lebih besar dari rakyat.


‎---

Cahaya yang Belum Datang

‎Malam ini masih gelap,
‎tapi di ufuk ada cahaya samar.
‎Cahaya belum datang,
‎tapi ia berjanji.

‎Pemberi Cahaya berkata pada bangsa:
‎“Aku akan datang,
‎meski kalian masih terlelap.
‎Aku akan datang,
‎meski kursi-kursi itu masih berdiri.
‎Aku akan datang,
‎karena tidak ada malam yang abadi,
‎tidak ada tirai yang tak bisa dirobek.”


‎---
‎‎‎
Datangnya Janji

‎Lalu datang mereka,
‎rombongan wajah baru,
‎dengan spanduk putih dan suara lantang,
‎dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.

‎“Cukup sudah,” teriak mereka,
‎“tak ada lagi dusta,
‎tak ada lagi kursi berlumur darah,
‎tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.

‎Kami akan robek naskah lama,
‎kami akan tulis ulang sejarah,
‎kami akan jadikan rakyat tuan,
‎bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”

‎Dan rakyat bersorak.
‎Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
‎seperti angin yang membakar hutan kering,
‎seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.

‎Untuk sejenak,
‎cahaya terasa nyata.
‎Untuk sejenak,
‎harapan tampak bisa disentuh.


‎---

Lagu Harapan

‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎ada bara di ujung jalan!
‎Meski langkahmu terhuyung,
‎meski bajumu basah keringat,
‎tapi suaramu masih bernyanyi.

‎Bangkitlah, wahai yang terhina,
‎ada janji di udara malam!
‎Meski belum nyata, meski samar,
‎tapi harapan tak bisa dibunuh.


‎---

Luka Kekalahan

‎Namun, di sudut gelap panggung,
‎ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
‎Mereka kalah,
‎dan kekalahan itu bagi mereka
‎bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.

‎“Kenapa bukan kami?”
‎bisik mereka dalam hati.
‎“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
‎Kenapa rakyat tidak memilih kami?
‎Kenapa sejarah begitu kejam?”

‎Mereka menatap pemenang
‎dengan mata penuh racun,
‎mereka menggertakkan gigi,
‎dan berjanji dalam diam:
‎“Jika kami tak bisa menang,
‎maka kami akan pastikan
‎tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”


‎---

 Culas yang Menyebar

‎Culas bukan sekadar sifat,
‎culas adalah virus.
‎Ia berjalan dari mulut ke mulut,
‎menular lewat senyum manis,
‎menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.

‎Malas bukan sekadar kebiasaan,
‎malas adalah rantai.
‎Ia menjerat kaki,
‎membuat orang hanya bisa meratap,
‎tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.

‎Dan dendam?
‎Dendam adalah api liar,
‎yang membakar rumah sendiri,
‎yang menghancurkan ladang sendiri,
‎lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.


‎---

Pertarungan Bayangan

‎Di malam hari,
‎mereka berkumpul di ruang gelap,
‎menyusun rencana,
‎menulis strategi,
‎bukan untuk rakyat,
‎tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.

‎Mereka tak bicara tentang harga beras,
‎mereka tak bicara tentang upah buruh,
‎mereka tak bicara tentang sekolah bocor.

‎Mereka hanya bicara:
‎“Bagaimana menjatuhkan lawan?
‎Bagaimana merobek bendera mereka?
‎Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”

‎Mereka lupa,
‎bangsa ini bukan papan catur,
‎bangsa ini bukan permainan dadu.
‎Bangsa ini adalah tubuh,
‎dan tubuh yang dipukul dari dalam
‎akan roboh sebelum musuh datang dari luar.


‎---

Nyanyian Luka

‎Wahai rakyat, lihatlah!
‎Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
‎Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
‎Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.

‎Mereka berkata atas namamu,
‎tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
‎Mereka bersumpah demi bangsamu,
‎tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.

‎---

Irama Pengkhianat

‎Mereka berdiri di podium kecil,
‎membawa mikrofon murahan,
‎berteriak:
‎“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
‎Kami adalah korban dari konspirasi!
‎Kami adalah pilihan yang dicurangi!”

‎Dan rakyat kecil yang lelah
‎mulai goyah,
‎mulai bertanya:
‎“Apakah benar semua ini palsu?
‎Apakah benar suara kami dicuri?”

‎Sementara itu,
‎di belakang panggung,
‎ada segelintir orang kaya
‎yang menepuk pundak mereka,
‎menyodorkan uang,
‎menyodorkan janji,
‎menyodorkan dukungan palsu.

‎Karena bagi para penumpang gelap,
‎dendam adalah peluang bisnis.

‎---

Ironi Bangsa

‎Tan Malaka pernah berkata:
‎“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
‎tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”

‎Namun lihatlah kita hari ini:
‎Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
‎tapi lupa menanam padi.
‎Kita sibuk membicarakan kursi,
‎tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
‎Kita sibuk berdebat di televisi,
‎tapi lupa bahwa rakyat di kampung
‎tak punya televisi,
‎tak punya listrik,
‎bahkan tak punya nasi.

‎---

Dendam yang Menjadi Tembok

‎Dendam itu kini menjelma tembok,
‎memisahkan rakyat jadi dua kubu.
‎Satu kubu berkata:
‎“Kami pemenang sejati,
‎kamilah cahaya baru.”

‎Kubu lain berteriak:
‎“Kami korban penipuan,
‎kami disingkirkan,
‎kami dikhianati.”

‎Dan bangsa ini,
‎yang seharusnya satu tubuh,
‎kini bagai tulang retak
‎yang sakit setiap kali digerakkan.

‎---

Seruan dari Tengah Luka

‎Bangkitlah, wahai rakyat,
‎jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎jangan biarkan culas menular ke darahmu!

‎Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
‎bukan milik yang kalah saja,
‎tapi milik mereka yang bekerja,
‎milik mereka yang mencangkul,
‎milik mereka yang mengajar,
‎milik mereka yang melahirkan generasi baru.

‎---

Bara yang Terbagi

‎Maka malam itu,
‎di atas tanah basah hujan,
‎ada dua bara yang menyala.

‎Bara pemenang,
‎yang ingin membakar gelap.
‎Bara pecundang,
‎yang ingin membakar rumah sendiri.

‎Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
‎gemetar,
‎tak tahu bara mana yang harus diikuti.

‎---
‎‎
Datangnya Janji

‎Lalu datang mereka,
‎rombongan wajah baru,
‎dengan spanduk putih dan suara lantang,
‎dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.

‎“Cukup sudah,” teriak mereka,
‎“tak ada lagi dusta,
‎tak ada lagi kursi berlumur darah,
‎tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.

‎Kami akan robek naskah lama,
‎kami akan tulis ulang sejarah,
‎kami akan jadikan rakyat tuan,
‎bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”

‎Dan rakyat bersorak.
‎Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
‎seperti angin yang membakar hutan kering,
‎seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.

‎Untuk sejenak,
‎cahaya terasa nyata.
‎Untuk sejenak,
‎harapan tampak bisa disentuh.

‎---

Lagu Harapan

‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎ada bara di ujung jalan!
‎Meski langkahmu terhuyung,
‎meski bajumu basah keringat,
‎tapi suaramu masih bernyanyi.

‎Bangkitlah, wahai yang terhina,
‎ada janji di udara malam!
‎Meski belum nyata, meski samar,
‎tapi harapan tak bisa dibunuh.

‎---

Luka Kekalahan

‎Namun, di sudut gelap panggung,
‎ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
‎Mereka kalah,
‎dan kekalahan itu bagi mereka
‎bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.

‎“Kenapa bukan kami?”
‎bisik mereka dalam hati.
‎“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
‎Kenapa rakyat tidak memilih kami?
‎Kenapa sejarah begitu kejam?”

‎Mereka menatap pemenang
‎dengan mata penuh racun,
‎mereka menggertakkan gigi,
‎dan berjanji dalam diam:
‎“Jika kami tak bisa menang,
‎maka kami akan pastikan
‎tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”

‎---

Culas yang Menyebar

‎Culas bukan sekadar sifat,
‎culas adalah virus.
‎Ia berjalan dari mulut ke mulut,
‎menular lewat senyum manis,
‎menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.

‎Malas bukan sekadar kebiasaan,
‎malas adalah rantai.
‎Ia menjerat kaki,
‎membuat orang hanya bisa meratap,
‎tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.

‎Dan dendam?
‎Dendam adalah api liar,
‎yang membakar rumah sendiri,
‎yang menghancurkan ladang sendiri,
‎lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.

‎---

Pertarungan Bayangan

‎Di malam hari,
‎mereka berkumpul di ruang gelap,
‎menyusun rencana,
‎menulis strategi,
‎bukan untuk rakyat,
‎tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.

‎Mereka tak bicara tentang harga beras,
‎mereka tak bicara tentang upah buruh,
‎mereka tak bicara tentang sekolah bocor.

‎Mereka hanya bicara:
‎“Bagaimana menjatuhkan lawan?
‎Bagaimana merobek bendera mereka?
‎Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”

‎Mereka lupa,
‎bangsa ini bukan papan catur,
‎bangsa ini bukan permainan dadu.
‎Bangsa ini adalah tubuh,
‎dan tubuh yang dipukul dari dalam
‎akan roboh sebelum musuh datang dari luar.

‎---

Nyanyian Luka

‎Wahai rakyat, lihatlah!
‎Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
‎Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
‎Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.

‎Mereka berkata atas namamu,
‎tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
‎Mereka bersumpah demi bangsamu,
‎tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.

‎---

Irama Pengkhianat

‎Mereka berdiri di podium kecil,
‎membawa mikrofon murahan,
‎berteriak:
‎“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
‎Kami adalah korban dari konspirasi!
‎Kami adalah pilihan yang dicurangi!”

‎Dan rakyat kecil yang lelah
‎mulai goyah,
‎mulai bertanya:
‎“Apakah benar semua ini palsu?
‎Apakah benar suara kami dicuri?”

‎Sementara itu,
‎di belakang panggung,
‎ada segelintir orang kaya
‎yang menepuk pundak mereka,
‎menyodorkan uang,
‎menyodorkan janji,
‎menyodorkan dukungan palsu.

‎Karena bagi para penumpang gelap,
‎dendam adalah peluang bisnis.

‎---

Ironi Bangsa

‎Tan Malaka pernah berkata:
‎“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
‎tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”

‎Namun lihatlah kita hari ini:
‎Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
‎tapi lupa menanam padi.
‎Kita sibuk membicarakan kursi,
‎tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
‎Kita sibuk berdebat di televisi,
‎tapi lupa bahwa rakyat di kampung
‎tak punya televisi,
‎tak punya listrik,
‎bahkan tak punya nasi.

‎---

Dendam yang Menjadi Tembok

‎Dendam itu kini menjelma tembok,
‎memisahkan rakyat jadi dua kubu.
‎Satu kubu berkata:
‎“Kami pemenang sejati,
‎kamilah cahaya baru.”

‎Kubu lain berteriak:
‎“Kami korban penipuan,
‎kami disingkirkan,
‎kami dikhianati.”

‎Dan bangsa ini,
‎yang seharusnya satu tubuh,
‎kini bagai tulang retak
‎yang sakit setiap kali digerakkan.

‎---

Seruan dari Tengah Luka

‎Bangkitlah, wahai rakyat,
‎jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎jangan biarkan culas menular ke darahmu!

‎Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
‎bukan milik yang kalah saja,
‎tapi milik mereka yang bekerja,
‎milik mereka yang mencangkul,
‎milik mereka yang mengajar,
‎milik mereka yang melahirkan generasi baru.

‎---

Bara yang Terbagi

‎Maka malam itu,
‎di atas tanah basah hujan,
‎ada dua bara yang menyala.

‎Bara pemenang,
‎yang ingin membakar gelap.
‎Bara pecundang,
‎yang ingin membakar rumah sendiri.

‎Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
‎gemetar,
‎tak tahu bara mana yang harus diikuti.


‎---
‎‎‎
Datangnya Janji

‎Lalu datang mereka,
‎rombongan wajah baru,
‎dengan spanduk putih dan suara lantang,
‎dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.

‎“Cukup sudah,” teriak mereka,
‎“tak ada lagi dusta,
‎tak ada lagi kursi berlumur darah,
‎tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.

‎Kami akan robek naskah lama,
‎kami akan tulis ulang sejarah,
‎kami akan jadikan rakyat tuan,
‎bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”

‎Dan rakyat bersorak.
‎Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
‎seperti angin yang membakar hutan kering,
‎seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.

‎Untuk sejenak,
‎cahaya terasa nyata.
‎Untuk sejenak,
‎harapan tampak bisa disentuh.

‎---

Lagu Harapan

‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎ada bara di ujung jalan!
‎Meski langkahmu terhuyung,
‎meski bajumu basah keringat,
‎tapi suaramu masih bernyanyi.

‎Bangkitlah, wahai yang terhina,
‎ada janji di udara malam!
‎Meski belum nyata, meski samar,
‎tapi harapan tak bisa dibunuh.

‎---

Luka Kekalahan

‎Namun, di sudut gelap panggung,
‎ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
‎Mereka kalah,
‎dan kekalahan itu bagi mereka
‎bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.

‎“Kenapa bukan kami?”
‎bisik mereka dalam hati.
‎“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
‎Kenapa rakyat tidak memilih kami?
‎Kenapa sejarah begitu kejam?”

‎Mereka menatap pemenang
‎dengan mata penuh racun,
‎mereka menggertakkan gigi,
‎dan berjanji dalam diam:
‎“Jika kami tak bisa menang,
‎maka kami akan pastikan
‎tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”

‎---

Culas yang Menyebar

‎Culas bukan sekadar sifat,
‎culas adalah virus.
‎Ia berjalan dari mulut ke mulut,
‎menular lewat senyum manis,
‎menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.

‎Malas bukan sekadar kebiasaan,
‎malas adalah rantai.
‎Ia menjerat kaki,
‎membuat orang hanya bisa meratap,
‎tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.

‎Dan dendam?
‎Dendam adalah api liar,
‎yang membakar rumah sendiri,
‎yang menghancurkan ladang sendiri,
‎lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.

‎---

Pertarungan Bayangan

‎Di malam hari,
‎mereka berkumpul di ruang gelap,
‎menyusun rencana,
‎menulis strategi,
‎bukan untuk rakyat,
‎tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.

‎Mereka tak bicara tentang harga beras,
‎mereka tak bicara tentang upah buruh,
‎mereka tak bicara tentang sekolah bocor.

‎Mereka hanya bicara:
‎“Bagaimana menjatuhkan lawan?
‎Bagaimana merobek bendera mereka?
‎Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”

‎Mereka lupa,
‎bangsa ini bukan papan catur,
‎bangsa ini bukan permainan dadu.
‎Bangsa ini adalah tubuh,
‎dan tubuh yang dipukul dari dalam
‎akan roboh sebelum musuh datang dari luar.


‎---

Nyanyian Luka

‎Wahai rakyat, lihatlah!
‎Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
‎Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
‎Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.

‎Mereka berkata atas namamu,
‎tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
‎Mereka bersumpah demi bangsamu,
‎tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.


‎---

Irama Pengkhianat

‎Mereka berdiri di podium kecil,
‎membawa mikrofon murahan,
‎berteriak:
‎“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
‎Kami adalah korban dari konspirasi!
‎Kami adalah pilihan yang dicurangi!”

‎Dan rakyat kecil yang lelah
‎mulai goyah,
‎mulai bertanya:
‎“Apakah benar semua ini palsu?
‎Apakah benar suara kami dicuri?”

‎Sementara itu,
‎di belakang panggung,
‎ada segelintir orang kaya
‎yang menepuk pundak mereka,
‎menyodorkan uang,
‎menyodorkan janji,
‎menyodorkan dukungan palsu.

‎Karena bagi para penumpang gelap,
‎dendam adalah peluang bisnis.


‎---

Ironi Bangsa

‎Tan Malaka pernah berkata:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
‎tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”


‎Namun lihatlah kita hari ini:
‎Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
‎tapi lupa menanam padi.
‎Kita sibuk membicarakan kursi,
‎tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
‎Kita sibuk berdebat di televisi,
‎tapi lupa bahwa rakyat di kampung
‎tak punya televisi,
‎tak punya listrik,
‎bahkan tak punya nasi.


‎---

Dendam yang Menjadi Tembok

‎Dendam itu kini menjelma tembok,
‎memisahkan rakyat jadi dua kubu.
‎Satu kubu berkata:
‎“Kami pemenang sejati,
‎kamilah cahaya baru.”

‎Kubu lain berteriak:
‎“Kami korban penipuan,
‎kami disingkirkan,
‎kami dikhianati.”

‎Dan bangsa ini,
‎yang seharusnya satu tubuh,
‎kini bagai tulang retak
‎yang sakit setiap kali digerakkan.


‎---

Seruan dari Tengah Luka

‎Bangkitlah, wahai rakyat,
‎jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎jangan biarkan culas menular ke darahmu!

‎Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
‎bukan milik yang kalah saja,
‎tapi milik mereka yang bekerja,
‎milik mereka yang mencangkul,
‎milik mereka yang mengajar,
‎milik mereka yang melahirkan generasi baru.


‎---

Bara yang Terbagi

‎Maka malam itu,
‎di atas tanah basah hujan,
‎ada dua bara yang menyala.

‎Bara pemenang,
‎yang ingin membakar gelap.
‎Bara pecundang,
‎yang ingin membakar rumah sendiri.

‎Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
‎gemetar,
‎tak tahu bara mana yang harus diikuti.


‎---
‎‎
Datangnya Janji

‎Lalu datang mereka,
‎rombongan wajah baru,
‎dengan spanduk putih dan suara lantang,
‎dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.

‎“Cukup sudah,” teriak mereka,
‎“tak ada lagi dusta,
‎tak ada lagi kursi berlumur darah,
‎tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.

‎Kami akan robek naskah lama,
‎kami akan tulis ulang sejarah,
‎kami akan jadikan rakyat tuan,
‎bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”

‎Dan rakyat bersorak.
‎Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
‎seperti angin yang membakar hutan kering,
‎seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.

‎Untuk sejenak,
‎cahaya terasa nyata.
‎Untuk sejenak,
‎harapan tampak bisa disentuh.


‎---

‎Lagu Harapan


‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎ada bara di ujung jalan!
‎Meski langkahmu terhuyung,
‎meski bajumu basah keringat,
‎tapi suaramu masih bernyanyi.

‎Bangkitlah, wahai yang terhina,
‎ada janji di udara malam!
‎Meski belum nyata, meski samar,
‎tapi harapan tak bisa dibunuh.

‎---

Luka Kekalahan

‎Namun, di sudut gelap panggung,
‎ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
‎Mereka kalah,
‎dan kekalahan itu bagi mereka
‎bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.

‎“Kenapa bukan kami?”
‎bisik mereka dalam hati.
‎“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
‎Kenapa rakyat tidak memilih kami?
‎Kenapa sejarah begitu kejam?”

‎Mereka menatap pemenang
‎dengan mata penuh racun,
‎mereka menggertakkan gigi,
‎dan berjanji dalam diam:
‎“Jika kami tak bisa menang,
‎maka kami akan pastikan
‎tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”

‎---

Culas yang Menyebar

‎Culas bukan sekadar sifat,
‎culas adalah virus.
‎Ia berjalan dari mulut ke mulut,
‎menular lewat senyum manis,
‎menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.

‎Malas bukan sekadar kebiasaan,
‎malas adalah rantai.
‎Ia menjerat kaki,
‎membuat orang hanya bisa meratap,
‎tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.

‎Dan dendam?
‎Dendam adalah api liar,
‎yang membakar rumah sendiri,
‎yang menghancurkan ladang sendiri,
‎lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.

‎---

Pertarungan Bayangan

‎Di malam hari,
‎mereka berkumpul di ruang gelap,
‎menyusun rencana,
‎menulis strategi,
‎bukan untuk rakyat,
‎tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.

‎Mereka tak bicara tentang harga beras,
‎mereka tak bicara tentang upah buruh,
‎mereka tak bicara tentang sekolah bocor.

‎Mereka hanya bicara:
‎“Bagaimana menjatuhkan lawan?
‎Bagaimana merobek bendera mereka?
‎Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”

‎Mereka lupa,
‎bangsa ini bukan papan catur,
‎bangsa ini bukan permainan dadu.
‎Bangsa ini adalah tubuh,
‎dan tubuh yang dipukul dari dalam
‎akan roboh sebelum musuh datang dari luar.

‎---

Nyanyian Luka

‎Wahai rakyat, lihatlah!
‎Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
‎Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
‎Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.

‎Mereka berkata atas namamu,
‎tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
‎Mereka bersumpah demi bangsamu,
‎tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.

‎---

Irama Pengkhianat

‎Mereka berdiri di podium kecil,
‎membawa mikrofon murahan,
‎berteriak:
‎“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
‎Kami adalah korban dari konspirasi!
‎Kami adalah pilihan yang dicurangi!”

‎Dan rakyat kecil yang lelah
‎mulai goyah,
‎mulai bertanya:
‎“Apakah benar semua ini palsu?
‎Apakah benar suara kami dicuri?”

‎Sementara itu,
‎di belakang panggung,
‎ada segelintir orang kaya
‎yang menepuk pundak mereka,
‎menyodorkan uang,
‎menyodorkan janji,
‎menyodorkan dukungan palsu.

‎Karena bagi para penumpang gelap,
‎dendam adalah peluang bisnis.

‎---

Ironi Bangsa

‎Tan Malaka pernah berkata:
‎“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
‎tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”

‎Namun lihatlah kita hari ini:
‎Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
‎tapi lupa menanam padi.
‎Kita sibuk membicarakan kursi,
‎tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
‎Kita sibuk berdebat di televisi,
‎tapi lupa bahwa rakyat di kampung
‎tak punya televisi,
‎tak punya listrik,
‎bahkan tak punya nasi.

‎---

Dendam yang Menjadi Tembok

‎Dendam itu kini menjelma tembok,
‎memisahkan rakyat jadi dua kubu.
‎Satu kubu berkata:
‎“Kami pemenang sejati,
‎kamilah cahaya baru.”

‎Kubu lain berteriak:
‎“Kami korban penipuan,
‎kami disingkirkan,
‎kami dikhianati.”

‎Dan bangsa ini,
‎yang seharusnya satu tubuh,
‎kini bagai tulang retak
‎yang sakit setiap kali digerakkan.

‎---

Seruan dari Tengah Luka

‎Bangkitlah, wahai rakyat,
‎jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎jangan biarkan culas menular ke darahmu!

‎Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
‎bukan milik yang kalah saja,
‎tapi milik mereka yang bekerja,
‎milik mereka yang mencangkul,
‎milik mereka yang mengajar,
‎milik mereka yang melahirkan generasi baru.

‎---

Bara yang Terbagi

‎Maka malam itu,
‎di atas tanah basah hujan,
‎ada dua bara yang menyala.

‎Bara pemenang,
‎yang ingin membakar gelap.
‎Bara pecundang,
‎yang ingin membakar rumah sendiri.

‎Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
‎gemetar,
‎tak tahu bara mana yang harus diikuti.

‎---

‎‎Datangnya Janji

‎Lalu datang mereka,
‎rombongan wajah baru,
‎dengan spanduk putih dan suara lantang,
‎dengan janji yang berkilau seperti pedang terhunus.

‎“Cukup sudah,” teriak mereka,
‎“tak ada lagi dusta,
‎tak ada lagi kursi berlumur darah,
‎tak ada lagi buku hukum penuh noda tinta palsu.

‎Kami akan robek naskah lama,
‎kami akan tulis ulang sejarah,
‎kami akan jadikan rakyat tuan,
‎bukan sekadar penonton dalam rumahnya sendiri.”

‎Dan rakyat bersorak.
‎Sorak itu seperti ombak yang menghantam batu karang,
‎seperti angin yang membakar hutan kering,
‎seperti doa yang akhirnya menemukan telinga Tuhan.

‎Untuk sejenak,
‎cahaya terasa nyata.
‎Untuk sejenak,
‎harapan tampak bisa disentuh.

‎---

Lagu Harapan

‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎ada bara di ujung jalan!
‎Meski langkahmu terhuyung,
‎meski bajumu basah keringat,
‎tapi suaramu masih bernyanyi.

‎Bangkitlah, wahai yang terhina,
‎ada janji di udara malam!
‎Meski belum nyata, meski samar,
‎tapi harapan tak bisa dibunuh.

‎---

Luka Kekalahan

‎Namun, di sudut gelap panggung,
‎ada wajah muram yang menyembunyikan dendam.
‎Mereka kalah,
‎dan kekalahan itu bagi mereka
‎bukan akhir, melainkan luka yang ingin diwariskan.

‎“Kenapa bukan kami?”
‎bisik mereka dalam hati.
‎“Kenapa kursi itu bukan milik kami?
‎Kenapa rakyat tidak memilih kami?
‎Kenapa sejarah begitu kejam?”

‎Mereka menatap pemenang
‎dengan mata penuh racun,
‎mereka menggertakkan gigi,
‎dan berjanji dalam diam:
‎“Jika kami tak bisa menang,
‎maka kami akan pastikan
‎tak seorang pun bisa duduk nyaman di kursi itu.”

‎---

Culas yang Menyebar

‎Culas bukan sekadar sifat,
‎culas adalah virus.
‎Ia berjalan dari mulut ke mulut,
‎menular lewat senyum manis,
‎menyebar lewat kata: “kita dirugikan”.

‎Malas bukan sekadar kebiasaan,
‎malas adalah rantai.
‎Ia menjerat kaki,
‎membuat orang hanya bisa meratap,
‎tanpa mau berdiri, tanpa mau berlari.

‎Dan dendam?
‎Dendam adalah api liar,
‎yang membakar rumah sendiri,
‎yang menghancurkan ladang sendiri,
‎lalu menyalahkan tetangga yang membawa air.

‎---

Pertarungan Bayangan

‎Di malam hari,
‎mereka berkumpul di ruang gelap,
‎menyusun rencana,
‎menulis strategi,
‎bukan untuk rakyat,
‎tapi untuk menyalakan kembali ambisi mereka.

‎Mereka tak bicara tentang harga beras,
‎mereka tak bicara tentang upah buruh,
‎mereka tak bicara tentang sekolah bocor.

‎Mereka hanya bicara:
‎“Bagaimana menjatuhkan lawan?
‎Bagaimana merobek bendera mereka?
‎Bagaimana membuat rakyat kembali ragu?”

‎Mereka lupa,
‎bangsa ini bukan papan catur,
‎bangsa ini bukan permainan dadu.
‎Bangsa ini adalah tubuh,
‎dan tubuh yang dipukul dari dalam
‎akan roboh sebelum musuh datang dari luar.

‎---

Nyanyian Luka

‎Wahai rakyat, lihatlah!
‎Bahkan yang kalah pun ingin berkuasa.
‎Bahkan yang jatuh pun ingin menjatuhkan.
‎Bahkan yang hancur pun ingin menghancurkan.

‎Mereka berkata atas namamu,
‎tapi yang mereka pikirkan hanyalah kursi.
‎Mereka bersumpah demi bangsamu,
‎tapi sumpah itu ditulis dengan tinta dendam.

‎---

Irama Pengkhianat

‎Mereka berdiri di podium kecil,
‎membawa mikrofon murahan,
‎berteriak:
‎“Kami adalah suara rakyat yang disakiti!
‎Kami adalah korban dari konspirasi!
‎Kami adalah pilihan yang dicurangi!”

‎Dan rakyat kecil yang lelah
‎mulai goyah,
‎mulai bertanya:
‎“Apakah benar semua ini palsu?
‎Apakah benar suara kami dicuri?”

‎Sementara itu,
‎di belakang panggung,
‎ada segelintir orang kaya
‎yang menepuk pundak mereka,
‎menyodorkan uang,
‎menyodorkan janji,
‎menyodorkan dukungan palsu.

‎Karena bagi para penumpang gelap,
‎dendam adalah peluang bisnis.

‎---

Ironi Bangsa

‎Tan Malaka pernah berkata:
‎“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak bicara,
‎tetapi bangsa yang sanggup berpikir dan bertindak.”

‎Namun lihatlah kita hari ini:
‎Kita sibuk berbicara tentang kecurangan,
‎tapi lupa menanam padi.
‎Kita sibuk membicarakan kursi,
‎tapi lupa bangku sekolah anak-anak kita.
‎Kita sibuk berdebat di televisi,
‎tapi lupa bahwa rakyat di kampung
‎tak punya televisi,
‎tak punya listrik,
‎bahkan tak punya nasi.

‎---

Dendam yang Menjadi Tembok

‎Dendam itu kini menjelma tembok,
‎memisahkan rakyat jadi dua kubu.
‎Satu kubu berkata:
‎“Kami pemenang sejati,
‎kamilah cahaya baru.”

‎Kubu lain berteriak:
‎“Kami korban penipuan,
‎kami disingkirkan,
‎kami dikhianati.”

‎Dan bangsa ini,
‎yang seharusnya satu tubuh,
‎kini bagai tulang retak
‎yang sakit setiap kali digerakkan.

‎---

Seruan dari Tengah Luka

‎Bangkitlah, wahai rakyat,
‎jangan biarkan dirimu jadi alat dendam!
‎Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa lelah,
‎jangan biarkan culas menular ke darahmu!

‎Karena bangsa ini bukan milik pemenang saja,
‎bukan milik yang kalah saja,
‎tapi milik mereka yang bekerja,
‎milik mereka yang mencangkul,
‎milik mereka yang mengajar,
‎milik mereka yang melahirkan generasi baru.


‎---

Bara yang Terbagi

‎Maka malam itu,
‎di atas tanah basah hujan,
‎ada dua bara yang menyala.

‎Bara pemenang,
‎yang ingin membakar gelap.
‎Bara pecundang,
‎yang ingin membakar rumah sendiri.

‎Dan bangsa ini berdiri di tengahnya,
‎gemetar,
‎tak tahu bara mana yang harus diikuti.

‎---

Kursi yang Berbicara

‎Ada kursi megah di tengah ruangan, terbuat dari kayu tua yang keropos, ditutupi cat emas yang mengilap, dipoles setiap hari agar tampak abadi.

‎Kursi itu bicara dalam diam, ia berkata: “Siapa pun yang duduk di atas punggungku, akan mewarisi bukan hanya kuasa, tetapi juga beban kutukan masa lalu.”

‎Mereka yang duduk, berpikir telah menguasai dunia, padahal sejatinya, merekalah yang dikuasai kursi itu. Karena kursi adalah panggung boneka, dan mereka hanyalah wayang yang tali-tali benangnya digenggam tuan-tuan di balik layar.

‎---

Boneka di Singgasana

‎Lihatlah boneka-boneka itu, tersenyum dengan wajah yang bukan milik mereka, menangis dengan air mata yang tak pernah jatuh, berkata dengan suara yang bukan suara hati.

‎Mereka menyanyikan lagu yang dipesan, mereka menari mengikuti genderang, mereka mengangguk saat harus mengangguk, dan pura-pura berani saat semua penonton menatap.

‎Kursi itu, oh kursi itu, bukan tahta kemuliaan, melainkan kandang emas, tempat jiwa terkurung sambil berpura-pura merdeka.


‎---

Politik Adu Domba

‎Mereka yang duduk tak pernah puas, sebab kursi mereka goyah setiap saat. Untuk bertahan, mereka menabur racun di tengah rakyat, mereka mengadu domba sahabat dengan sahabat, tetangga dengan tetangga, kawan dengan kawan.

‎Persaudaraan retak di meja makan, percakapan berubah jadi prasangka, senyum berubah jadi curiga, dan tangan yang dulu bersalaman, kini saling menggenggam batu.

‎Itu bukan politik, itu sihir kotor, yang mengubah masyarakat menjadi medan perang tanpa peluru, tetapi penuh luka batin yang tak terlihat.


‎---

Tandingan Palsu

‎Mereka menciptakan tandingan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menutupi kebusukan. Mereka mendirikan menara-menara kata, membuat partai-partai bayangan, menggagas gerakan palsu yang seolah-olah menyuarakan rakyat, padahal hanya gema kosong yang diputar ulang di ruang kaca.

‎Tandingan itu berdiri megah, namun rapuh seperti dinding kardus. Ia berisik, berteriak, tapi tak punya isi. Dan ketika rakyat datang mengetuk pintunya, yang terdengar hanyalah gema: “Janji, janji, janji…”


‎---

Luka Kekalahan

‎Di luar gedung megah itu, ada wajah-wajah yang muram. Mereka yang kalah membawa luka yang belum sembuh. Sebagian memilih marah, menyulut api cemburu, dan bersekutu dengan culas demi membalas dendam.

‎Sebagian lain memilih diam, menarik diri ke pojok, menyulam harapan yang tersisa dari benang-benang keyakinan. Namun semua luka itu adalah bahan bakar yang suatu saat akan membakar habis kursi palsu.


‎---

Boneka di Singgasana 

‎Boneka di singgasana, tali-tali masih terlihat jelas. Penonton sudah tahu, bahwa yang bergerak bukanlah manusia merdeka, melainkan alat hiburan dari dalang yang tak pernah mau tampak.

‎Mereka mengangguk, mereka membungkuk, mereka mencium tangan bayangan. Dan di luar gedung, rakyat hanya bisa bertanya: “Berapa lama lagi pertunjukan ini harus kami tonton?”


‎---

Kursi Retak

‎Kursi itu akhirnya berderit, suara retaknya terdengar di lorong-lorong kota. Retak itu bukan sekadar suara kayu tua, tapi tanda bahwa ilusi tak bisa selamanya bertahan.

‎Boneka-boneka itu mulai kehilangan senyum, topeng mereka retak oleh peluh, kata-kata mereka kehilangan bobot, dan rakyat mulai sadar: bukan kursi yang mulia, bukan boneka yang bijak, tetapi kekuatan rakyatlah yang akan menumbangkan panggung rapuh itu.


‎---
Suara Rakyat dari Segala Penjuru

Suara Sawah

‎Di tengah hamparan hijau padi, ada suara yang tenggelam di balik gemerisik angin.
‎Itu suara petani, tangan-tangan mereka retak seperti tanah kering,
‎punggung mereka melengkung seperti sabit tua,
‎namun senyum mereka tetap dipaksa terbit
‎meski perut kosong menjerit.

‎Mereka berkata:
‎“Kami memberi makan negeri,
‎tapi anak-anak kami makan sisa.
‎Kami menanam kehidupan,
‎tapi hidup kami sendiri terhimpit hutang.”

‎Sawah itu, oh sawah itu,
‎bukan lagi lahan subur,
‎melainkan papan catur
‎tempat tuan tanah dan tengkulak bermain taruhan.


‎---

Paduan Suara Rakyat

‎Dari sawah, dari pabrik, dari sekolah, dari jalanan,
‎suara rakyat menyatu jadi gelombang.
‎Mereka bernyanyi bukan dengan nada,
‎melainkan dengan luka yang sama.

‎“Cukup!
‎Kami bukan boneka,
‎kami bukan angka,
‎kami bukan catatan di kertas pemilu.
‎Kami adalah darah dan tulang negeri ini.”


‎---

Suara Mesin

‎Di balik dinding pabrik berkarat,
‎mesin berputar lebih kencang daripada detak jantung buruh.
‎Suara mereka tenggelam di bawah deru besi,
‎keringat mereka menetes jadi pelumas produksi,
‎dan hidup mereka dihitung per-jam,
‎seperti benda, bukan manusia.

‎Buruh berkata:
‎“Setiap hari kami memberi waktu,
‎tapi hidup kami tak pernah dibayar penuh.
‎Kami menghidupkan mesin,
‎tapi jiwa kami sendiri perlahan dimatikan.”

‎Mesin itu, oh mesin itu,
‎bukan sekadar alat produksi,
‎melainkan rantai besi
‎yang mengikat leher buruh agar tetap tunduk.


‎---

Suara Sekolah

‎Di ruang kelas berdebu,
‎guru menulis dengan kapur yang makin tipis.
‎Suara mereka serak,
‎karena sudah terlalu lama berteriak
‎tentang ilmu, tentang cita-cita,
‎yang tak pernah sampai ke telinga penguasa.

‎Guru berkata:
‎“Kami membangun masa depan dengan kata,
‎tapi kata-kata kami hanya jadi angin lalu.
‎Kami menyalakan pelita pengetahuan,
‎tapi pelita itu dibiarkan padam oleh kebijakan buta.”

‎Sekolah itu, oh sekolah itu,
‎seharusnya taman ilmu,
‎tapi kini jadi kandang angka,
‎tempat murid diukur bukan dari mimpi,
‎melainkan dari ujian dan statistik semu.


‎---

Suara Jalanan

‎Di lorong-lorong sempit,
‎anak-anak kecil berlari tanpa sandal.
‎Mereka tertawa dengan gigi yang ompong,
‎bermain dengan botol plastik bekas,
‎dan bermimpi tentang mainan yang tak pernah mereka miliki.

‎Mereka berkata:
‎“Kenapa langit tinggi, tapi atap rumah kami bocor?
‎Kenapa negeri kaya, tapi perut kami lapar?
‎Kenapa orang dewasa berdebat di kursi mewah,
‎sementara kami hanya ingin susu dan buku?”

‎Jalanan itu, oh jalanan itu,
‎adalah sekolah tanpa papan tulis,
‎adalah ranjang tanpa selimut,
‎adalah mimpi tanpa janji.


‎---

Paduan Suara Rakyat

‎Dari sawah, dari pabrik, dari sekolah, dari jalanan,
‎suara rakyat bersatu, tak bisa lagi dipisah.
‎Mereka bernyanyi dengan teriakan,
‎mereka menari dengan langkah lumpuh,
‎mereka berdoa dengan tangisan.

‎“Bangkit!
‎Bangkit!
‎Bangkit!
‎Kami bukan bayangan yang bisa kau injak.
‎Kami adalah daging, darah, dan mimpi
‎yang tak bisa kau kubur dengan kursi retakmu.”


‎---

Suara Perempuan

‎Di balik tirai rumah sederhana,
‎perempuan menyulam kehidupan dari sisa-sisa.
‎Mereka jadi ibu, jadi pekerja, jadi tulang punggung,
‎tapi juga jadi yang paling sering dilupakan.

‎Mereka berkata:
‎“Kami melahirkan generasi,
‎tapi kami juga melahirkan luka.
‎Kami membesarkan bangsa,
‎tapi kami juga yang paling sering ditinggalkan.”

‎Perempuan itu, oh perempuan itu,
‎bukan sekadar tiang rumah,
‎melainkan tiang bangsa,
‎yang jika tumbang,
‎maka seluruh negeri akan roboh.


‎---

Gelombang yang Tak Terbendung

‎Kini suara-suara itu bersatu,
‎tak lagi terpisah oleh profesi, gender, atau usia.
‎Mereka menyalakan api dari lidah,
‎mereka mengguncang bumi dengan langkah.

‎Gelombang itu datang,
‎bukan sebagai badai yang singkat,
‎melainkan sebagai ombak yang terus menerus,
‎mengikis batu kursi kekuasaan,
‎sampai boneka-boneka itu hanyut
‎dan rakyat kembali berdaulat.


‎---

Manifesto Cahaya Baru

Bara yang Menyala

‎Malam panjang memang masih menggantung,
‎tapi bara kecil sudah menyala di tiap dada.
‎Bara itu bukan lagi sekadar amarah,
‎melainkan keyakinan yang tumbuh dari luka.

‎Dari sawah, bara menjelma obor.
‎Dari pabrik, bara menjelma percikan baja.
‎Dari sekolah, bara menjelma kata.
‎Dari jalanan, bara menjelma teriakan.

‎Bara itu bersatu,
‎menjadi api yang tak bisa dipadamkan.
‎Bukan api dendam,
‎melainkan api kesadaran.


‎---

Rantai yang Retak

‎Rantai yang mengikat leher rakyat
‎mulai berderit, mulai melemah.
‎Besi tua tak bisa menahan
‎jutaan langkah yang serempak.

‎“Putus!
‎Putus!
‎Putus!”

‎Itulah suara yang bergema,
‎bukan sekadar dari satu mulut,
‎melainkan dari jutaan jiwa
‎yang tak rela lagi diperbudak ilusi.

‎Rantai itu akhirnya patah,
‎dan suara pecahannya
‎menjadi genderang kemenangan.


‎---

Fajar yang Terbit

‎Fajar datang, perlahan,
‎membelah langit gelap dengan garis merah.
‎Merah itu bukan darah semata,
‎melainkan tanda lahirnya hari baru.

‎Di ufuk timur, matahari tersenyum,
‎membawa cahaya yang membangunkan bumi.
‎Ia berkata:
‎“Bangunlah, wahai manusia merdeka.
‎Hari ini bukan kelanjutan dari kemarin,
‎hari ini adalah awal dari segalanya.”

‎Fajar itu, oh fajar itu,
‎bukan hadiah dari penguasa,
‎melainkan hasil dari perjuangan rakyat
‎yang menolak tunduk pada malam.


‎---

Manifesto Rakyat

‎Kini saatnya suara disatukan,
‎bukan dalam bisikan,
‎melainkan dalam manifesto.

‎“Kami adalah rakyat,
‎tulang dan daging negeri ini.
‎Kami bukan boneka,
‎bukan bayangan, bukan angka.
‎Kami menanam, kami bekerja, kami mengajar,
‎kami melahirkan, kami menjaga.
‎Tanpa kami, kursi hanyalah kayu kosong,
‎gedung hanyalah dinding hampa,
‎dan negara hanyalah nama tanpa jiwa.”

‎“Kami menuntut keadilan,
‎bukan sebagai hadiah,
‎tapi sebagai hak.
‎Kami menuntut kebenaran,
‎bukan sebagai wacana,
‎tapi sebagai kenyataan.
‎Kami menuntut hidup yang layak,
‎karena bumi ini milik semua,
‎bukan segelintir boneka di singgasana.”


‎---

Janji Generasi Baru

‎Anak-anak yang dulu lapar
‎kini berdiri dengan buku di tangan.
‎Mereka membaca bukan sekadar kata,
‎tetapi sejarah penderitaan orang tua mereka.

‎Perempuan yang dulu disisihkan
‎kini memimpin barisan dengan kepala tegak.
‎Mereka tak lagi menunggu izin,
‎karena hidup mereka sendiri adalah legitimasi.

‎Buruh yang dulu dibungkam
‎kini bersuara lantang di lapangan.
‎Mereka menuntut bukan hanya upah,
‎tapi martabat yang tak bisa ditawar.

‎Petani yang dulu diperas
‎kini menabur benih di tanah merdeka.
‎Mereka tahu bahwa bumi
‎hanya bisa subur jika dimiliki bersama.

‎Generasi baru ini berjanji:
‎“Kami tak akan mengulang kesalahan.
‎Kami tak akan duduk di kursi boneka.
‎Kami akan berdiri di tanah sendiri,
‎dengan kaki telanjang,
‎dengan tangan jujur,
‎dengan hati menyala.”


‎---

‎Lagu Cahaya Baru


‎Bangunlah, wahai bangsa,
‎bangun dari tidur panjang!
‎Sapu habis debu kebohongan,
‎robohkan panggung boneka,
‎buka jendela untuk cahaya baru!

‎Ini bukan sekadar lagu,
‎ini sumpah, ini janji, ini darah.
‎Darah yang menetes jadi tinta sejarah,
‎janji yang terucap jadi hukum baru,
‎sumpah yang diikat bukan dengan kata,
‎melainkan dengan tindakan bersama.


‎---

Dunia Baru

‎Kini rakyat berjalan,
‎bukan lagi di bawah bayang-bayang,
‎tapi di bawah cahaya fajar.

‎Mereka membangun kota,
‎dengan batu kejujuran dan semen solidaritas.
‎Mereka menanam pohon,
‎dengan air keadilan dan pupuk kebersamaan.
‎Mereka mengajar anak-anak,
‎dengan papan tulis yang ditulis kebenaran,
‎bukan propaganda.

‎Dunia baru itu bukan utopia,
‎bukan mimpi kosong,
‎melainkan realitas yang lahir
‎dari tangan-tangan rakyat sendiri.


‎---

Tak Akan Mundur

‎Dan bila suatu hari malam mencoba kembali,
‎jangan takut.
‎Karena bara sudah jadi api,
‎rantai sudah patah,
‎fajar sudah terbit,
‎dan rakyat sudah berjanji:

‎“Kami tak akan mundur.
‎Kami tak akan tunduk.
‎Kami tak akan rela dijadikan boneka lagi.”

‎Selama bumi masih berputar,
‎selama fajar masih datang,
‎selama darah masih mengalir,
‎maka manifesto rakyat akan tetap hidup,
‎menjadi nyanyian abadi
‎yang mengguncang kursi-kursi palsu,
‎dan mengukir nama bangsa ini
‎di langit sejarah.

Related Posts:

Main Elements of Building Construction

 


Building construction consists of several components, each with its own function. Therefore, each part or element must be constructed to high standards and requires regular inspections. These inspections will examine the materials and volume calculations required for the building's construction.

 Main Elements of Building Construction

These parameters will determine the building design, along with considerations of environmental impact and the budget required for each structure. Each element in the building's construction will work together to distribute the load it supports to the underlying structure and foundation. For more details, here are the main elements of building construction:

 1. Building Foundations

The foundation is a vital part of a building. It's located at the very bottom of the building and won't be visible once the building is completed. Careful planning is required before constructing this part, as mistakes can jeopardize the building's safety. Furthermore, damage to the foundation means repairs will require dismantling the building, which is tantamount to rebuilding. In building construction, foundations are divided into two types:

   Shallow Foundation

Shallow foundations only extend a few meters into the ground, or can be described as shallow. This type of foundation is generally made of concrete and serves to transfer the load from walls and columns to the underlying soil. This type of foundation is generally used for buildings with only one story.

    Deep Foundation (Pile)

This type of foundation is useful for transferring building loads to the soil layers beneath. Prior to construction, various tests are required, such as the CSL test, PDA test, Pundit test, UPV test, and so on, to determine the soil's suitability. These tests are part of the soil investigation process and are a crucial part of the process.

2. Column

Columns, often called support posts, are part of a building's construction that resist vertical axial compressive loads. If these parts are damaged or experience structural failure, various other elements or components connected to them will collapse.

3. Sloof

The sloof is a building component that sits above the foundation and distributes the load to each point. Furthermore, the sloof serves to anchor walls and columns, ensuring their strength despite ground movement. In earthquake-resistant buildings, this component is generally equipped with 12 mm diameter anchors spaced 1.5 meters apart. However, this will depend on the building's level and height.

4. Beam

Beams are used to support the ceiling frame in a room. These components are generally made of wood, concrete, or steel. Beams support the weight of the floor slab, walls, and the beams themselves.


5. Floor Plate


Floor slabs are part of the lower structure of a building and are smaller in height compared to the other structural dimensions. The load supported by the floor slabs is then distributed in various directions.

Related Posts:

Zayn Malik One Direction - Night Changes Lirik Terjemahan

 

Zayn Malik and Louis Tomlinson together for the first time in 10 years: what happened

One Direction Night Changes


Going out tonight
Keluar malam ini
Changes into something red
Mengganti baju dengan sesuatu berwarna merah
Her mother doesn't like that kind of dress
Mamanya tidak menyukai jenis gaun yang dia pakai
Everything she never had she's showing off
Segalanya yang tidak pernah dia tunjukkan mulai terlihat

Driving too fast
Menyetir dengan terlalu cepat
Moon is breaking through her hair
Sinar bulan menerobos ke rambutnya
She said it was something that she won't forget
Dia berkata jika ini adalah sesuatu yang tidak akan dia lupakan
Having no regrets is all that she really wants
Tidak merasa menyesal adalah semua yang dia inginkan
We're only getting older baby
Kita hanya akan bertambah tua sayang
And I've been thinking about it lately
Dan baru-baru ini aku sedang memikirkannya
Does it ever drive you crazy
Apakah ini pernah membuatmu gila
Just how fast the night changes?
Begitu cepatnya malam berganti?
Everything that you've ever dreamed of
Segala yang pernah kau mmimpikan
Disappearing when you wake up
Menghilang di saat kau bangun
But there's nothing to be afraid of
Tapi tidak ada yang perlu ditakuti
Even when the night changes
Bahkan jika malam berganti
It will never change me and you
Ini tidak akan pernah mengubah kau dan aku


Chasing it tonight,

Mengejarnya malam ini
Doubts are running ‘round her head
Keraguan sedang berlari-lari di kepalanya
He's waiting, hides behind a cigarette
Dia menunggu, bersembunyi di balik rokoknya
Heart is beating loud, she doesn't want it to stop
Jantung yang berdegup kencang, Dia tidak ingin untuk berhenti


Moving too fast
Bergerak terlalu cepat
Moon is lighting up her skin
Sinar bulan menyalakan warna kulitnya
She's falling, doesn't even know it yet
Dia terjatuh, dan belum juga mengetahuinya
Having no regrets is all that she really wants
Semua yang dia inginkan adalah tidak ada penyesalan


We're only getting older baby
Kita hanya akan bertambah tua sayang
And I've been thinking about it lately
Dan baru-baru ini aku sedang memikirkannya
Does it ever drive you crazy
Apakah ini pernah membuatmu gila
Just how fast the night changes?
Betapa cepatnya malam berganti?
Everything that you've ever dreamed of
Segalanya yang pernah kau mimpikan
Disappearing when you wake up
Menghilang di saat kau bangun
But there's nothing to be afraid of
Tapi tidak ada yang perlu ditakuti
Even when the night changes
Bahkan saat malam berganti
It will never change me and you
Ini tidak akan mengubah kau dan aku


Going out tonight
Keluar malam ini
Changes into something red
Mengganti baju dengan sesuatu berwarna merah
Her mother doesn't like that kind of dress
Mamanya tidak menyukai jenis gaunnya
Reminds her of a missing piece of innocence she lost
Mengingatkannya pada hilangnya kepolosan dari dirinya
We're only getting older baby
Kita hanya akan bertambah tua sayang
And I've been thinking about it lately
Dan baru-baru ini aku sedang memikirkannya
Does it ever drive you crazy
Apakah ini pernah membuatmu gila
Just how fast the night changes?
Betapa cepatnya malam berganti?
Everything that you've ever dreamed of
Segalanya yang pernah kau mimpikan
Disappearing when you wake up
Menghilang di saat kau bangun
But there's nothing to be afraid of
Tapi tidak ada yang perlu ditakuti
Even when the night changes
Bahkan saat malam berganti
It will never change, baby
Ini tidak akan mengubah, sayang
It will never change, baby
Ini tidak akan mengubah, sayang
It will never change me and you
Ini tidak akan mengubah kau dan aku

Related Posts:

Chord Guitar Blood on the Concrete - Michael Basst


 ‎🎸 Blood on the Concrete

‎Cipt : Michael Basst 

‎(Tuning: Drop D – D A D G B E)


‎---

‎Intro / Riff

‎D5   F5   G5   Bb5   (x2)


‎---

Verse 1

‎D5         F5       G5        Bb5  
‎Flames arise, the city screams,  
‎D5         F5       G5       Bb5  
‎Broken glass and shattered dreams.  
‎D5        F5         G5     Bb5  
‎Marching shadows, rage untamed,  
‎D5       F5        G5       Bb5  
‎Through the chaos, none remain.


‎---

Chorus

‎C5        Bb5       D5       F5  
‎Blood on the concrete! Echoes of pain,  
‎C5        Bb5        D5       F5  
‎Freedom is burning, nothing remains.  
‎C5        Bb5        D5        F5  
‎Blood on the concrete! Screaming in vain,  
‎C5         Bb5        D5       F5  
‎Ashes are falling, drowning the flame.


‎---

Verse 2

‎D5        F5        G5        Bb5  
‎Iron footsteps, crushing bones,  
‎D5        F5         G5       Bb5  
‎Empty eyes, no mercy shown.  
‎D5       F5         G5       Bb5  
‎Streets are bleeding, night is torn,  
‎D5        F5        G5       Bb5  
‎From the fire, war is born.


‎---

Chorus

‎C5        Bb5       D5       F5  
‎Blood on the concrete! Echoes of pain,  
‎C5        Bb5        D5       F5  
‎Freedom is burning, nothing remains.  
‎C5        Bb5        D5        F5  
‎Blood on the concrete! Screaming in vain,  
‎C5         Bb5        D5       F5  
‎Ashes are falling, drowning the flame.


‎---

Bridge (Breakdown – chugging di D5)

‎D5  
‎Rise from the ashes!  
‎F5  
‎Tear down the lies!  
‎G5         Bb5  
‎Blood on the concrete—  
‎D5  
‎The city dies!


‎---

Outro (slow & heavy)

‎C5        Bb5        D5       F5  
‎Red rivers flow where silence sleeps,  
‎C5        Bb5        D5       F5  
‎Concrete graves hold what we keep.  
‎C5         Bb5       D5        F5  
‎Blood on the concrete, scars of war,  
‎C5         Bb5        D5       (let ring)  
‎We’ll scream forever, never ignore!


‎---

‎⚡ Kunci power chord yang dipakai:

‎D5 = 000xxx   (open Drop D)  
‎F5 = 333xxx  
‎G5 = 555xxx  
‎Bb5 = 888xxx  
‎C5 = 10-10-10xxx

@michaelbasst Blood On The Concrate Michael Basst #michaelbasst #rockslow #music #songs ♬ original sound - michaelbasst

Related Posts: